Keadilan Abu Bakar

Abu Bakar ra merupakan salah satu sahabat yang paling awal memeluk Islam. Ia juga khalifah Islam pertama dengan durasi pemerintahan hanya dua tahun (632-634 M). Keadilan Abu Bakar ra sebagai khalifah sangatlah masyhur. Salah satunya tercermin dari kata-kata pertama kali yang diucapkan oleh Abu Bakar setelah ditunjuk menjadi khalifah.
Ketika itu ia menyatakan, “Orang yang lemah di antara kalian adalah orang yang kuat di sisiku hingga -Insya Allah- kutunaikan hak-haknya. Dan orang yang kuat di antara kalian adalah lemah di sisiku hinga -Insya Allah- kuambil hak-haknya (untuk diberikan kepada yang berhak)”. Artinya Abu Bakar ra sebagai seorang khalifah mampu menjadi jembatan antara yang lemah dan kuat, kaya dan miskin. (Dr. Musthafa Murad: Kisah Hidup Abu Bakar)
Abu Bakar ra dalam masa khilafahnya berusaha meletakkan keadilan sebagai dasar dari sistem pemerintahannya, untuk kepentingan ini Sang Khalifah mengangkat Umar ibn Khattab ra menjadi seorang qadhi (hakim) bagi umat Islam. Namun demikian, selama dua bulan pertama tidak ada satupun pengaduan yang datang kepada sang qadhi. Artinya, ketentraman, dan kenyamanan kehidupan benar-benar dirasakan. Tidak banyak kekacauan, kalaupun ada bisa diselesaikan. (Dr. Musthafa Murad: Kisah Hidup Abu Bakar)
Kalau dicermati, hal ini disebabkan dua hal. Pertama, para sahabat nabi sebagai generasi yang paling mulia ketika itu masih banyak yang hidup. Apalagi sahabat nabi merupakan generasi terbaik dari umat Islam. Kedua, keadilan yang diterapkan oleh Abu Bakar dalam menjalankan pemerintahan hingga menimbulkan kepuasan di semua elemen masyarakat.
Khalifah pertama ini menyadari bahwa stabilitas yang sesungguhnya akan terwujud dengan menegakkan keadilan. Faktanya yang didambakan oleh rakyat dari generasi ke generasi adalah terwujudnya keadilan yang memberikan perasaan tenteram, aman, dan selamat. Dengan terwujudnya rasa adil akan membuat rakyat merasa tenang, damai, dan sejahtera meski hidupnya tidak berlimpah harta.
Dalam Kisah Hidup Abu Bakar karya Dr. Musthafa Murad dijelaskan bahwa demi sebuah keadilan Abu Bakar rela bercampur tangan dengan rakyatnya tanpa ada perasaan risih, ataupun hina. Hal ini sesuai dengan peringatan Rasulullah saw bahwa seorang pemimpin harus memperhatikan 3 perkara, pertama, apabila rakyat meminta/membutuhkan belas kasih, maka sang pemimpin wajib berbagi kasih kepada mereka, kedua, apabila menghukumi mereka maka berbuatlah adil, ketiga, laksanakan apa yang telah kamu katakan (tidak menyalahi janji) (Imam al-Ghazali, al-Tibr al-Masbuk fii Nasihat al-Muluk).
Salah satu bentuk keadilan yang ditegakkan ayah Aisyah ini adalah tidak menyalahkan wewenang untuk kepentingan pribadi, keluarga, ataupun golongannya. Sampai-sampai ketika sudah menjadi khalifah tetap mencari nafkah untuk penghidupan keluarganya. Hal ini tercermin dalam sebuah dialog ketika para sahabat mendapatinya di pasar untuk urusan keluarganya.
Dikutip dari buku Kisah Keadilan Para Pemimpin Islam karya Nasiruddin, sehingga Abu Bakar ditegur, “Wahai khalifah rasulullah, kembalilah kepada urusan kaum muslimin!”. Abu Bakar menjawab, “Aku akan berdosa kalau aku menyia-nyiakan keluargaku. Darimana aku harus menghidupi mereka?”

 

Namun sejak itu diputuskan agar Abu Bakar dan keluarganya diberi jaminan kehidupan yang diambilkan dari kas negara (baitul mal). Hal ini dimaksudkan agar Khalifah bergelar Ash-Shiddiq ini bisa berkonsentrasi penuh pada urusan umat. [islamaktual/alfalah]

Leave a Comment