Pendeta Yotam Teddy K, MS, M.Th dalam mengapresiasi Petrus Kwik atas bukunya Ayat-Ayat Heboh Dalam Alkitab (Menyingkap Rahasia Ilahi di Balik Ayat-Ayat yang Tidak Lazim!), penerbit Spirit Grafindo Solo, pada kulit luar belakang buku menyatakan: “Full Inspiration and Creative Idea. Tak terbayangkan, tak terpikirkan… Amazing!”
Untuk tujuan serupa pendeta Ishak Sugianto, S.Th kemudian turut berujar: “Siapa bilang Alkitab itu buku kuno yang sulit dimengerti dan tak relevan di zaman ultra modern ini? Saya percaya pendapat ini langsung sirna ketika Anda membaca buku “Ayat-Ayat Heboh Dalam Alkitab’ ini”. Tidak ketinggalan pendeta Larry Nathan Kurniadi, MA selanjutnya ikut menimpali : “Petrus Kwik berhasil menungkil batu-batu permata kebenaran Alkitab yang begitu indah dan secara praktis menterjemahkannya dalam penerapan kehidupan sehari-hari.”
Terdapat 11 topik yang diurai Petrus Kwik dalam bukunya itu, satu diantaranya yang ditempatkan pada urutan ketiga, Kidung Agung Kitab Porno? Setelah berulang kali membaca paparan Petrus Kwik kemudian melakukan hal yang sama terhadap teks-tes Kidung Agung yang terdapat dalam Alkitab, maka hal demikian membuat penulis terpanggil untuk menulis catatan ini, Kidung Agung Tidak Porno? Kontra berlawanan dengan Petrus Kwik.
Di halaman topik terlihat sebuah ilustrasi, bagai di taman surga sepasang anak manusia sedang bercinta dalam kondisi pakaian wanita tersimbah menyibak lutut, sementara di bawahnya tercantum judul Kidung Agung Kitab Porno?
Tidak kepalang tanggung, Petrus kemudian menyediakan satu halaman khusus hanya untuk memuat kutipan Kidung Agung Pasal 7 ayat 7; ‘Sosok tubuhmu seumpama pohon kurma dan buah dadamu gugusannya.’ Seterusnya, sebelum masuk ke pembahasan Petrus terlebih dahulu menyuguhkan Kidung Agung Pasal 7 ayat 6-11 berona puis;
Betapa cantik, betapa jelita engkau, hai tercinta di antara segala yang disenangi.
Sosok tubuhmu seumpama pohon korma dan buah dadamu gugusannya.
Kataku: “Aku ingin memanjat pohon kurma itu dan memegang
Gugusan-gugusannya. Kiranya buah dadamu seperti gugusan anggur
Dan nafas hidungmu seperti buah apel.
Kata-katamu manis bagaikan anggur! “Ya, anggur itu
Mengalir kepada kekasihku dengan tak putus-putusnya, melimpah
Ke bibir orang-orang yang sedang tidur!
Kepunyaan kekasihku aku, kepadaku gairahnya tertuju.
Mari, kekasihku, kita pergi ke padang, bermalam di antara bunga-bunga pacar!
Mengawali paparan, kepada pembaca Petrus langsung melontarkan beberapa pertanyaan; Bagaimana reaksi Anda ketika membaca ayat-ayat Kidung Agung tersebut di atas? – Apakah muka Anda memrah karena malu dan merasa jengah?- Barangkali hatikecil Anda juga bertanya-tanya, pantaskah syair cinta seperti itu dimasukkan ke dalam Kitab Suci?
Dibalik ketiga pertanyaan tersebut, Petrus terlihat sangat menyadari bahwa Kidung Agung merupakan salah satu kitab dalam Perjanjian Lama yang sangat unik. Seperti menurut Petrus keunikannya bukan hanya karena memuat puisi-puisi cinta, tapi bagaimana cinta diekspresikan dengan begitu nyata dan terang-terangan.
Petrus menyadari bahwa hal tersebut kemudian menjadi ‘senjata’ bagi orang-orang tertentu untuk menyerang kekristenan. Menurut Petrus, para penyerang kekristenan berkata; Apakah pantas kata-kata vulgar, cabul, dan kotor seperti itu disebut Kidung Agung? -Apakah Tuhan kehabisan kota kata sehingga Dia menggunakan kata-kata seperti itu dalam Firman-Nya yang suci?- Pantaskah sebuah Kitab Suci membuat kata-kata yang sedemikian vulgar? -Lebih pantas disebut Kidung Porno daripada Kidung Agung!
Menepis berbagai tuduhan dan tudingan di atas, berdalih bahwa seks adalah hal yang suci, mulia, dan merupakan anugerah yang diberikan Tuhan untuk kita nikmati. Memperkuat argumen tersebut, Petrus kemudian menyatakan sependapat dengan seseorang yang mengatakan bahwa kita berhutang pada seks sebab tanpa seks kita tidak mungkin dilahirkan.
Begitulah, berpayung pada logika berpikir demikian Petrus lalu bertanya: Beranikah kita berkata bahwa seks adalah hal yang kotor dan tabu, jika sejak dari awal Tuhan sendiri yang menganugerahkan seks dalam kehidupan manusia?
Bagai telah berhasil memasukkan domba-domba gembalaan ke kandang, akhirnya Petrus berujar; logikanya membicarakan seks tentu bukanlah hal yang tabu. Dus, tidak ada yang salah dengan kitab Kidung Agung meski di dalamnya banyak ayat-ayat tentang cinta maupun seks.
Menyederhanakan persoalan Petrus kemudian menyatakan bahwa inti dari Kidung Agung sejatinya adalah: 1. Dari sisi keluarga, Kidung Agung menekankan pentingnya hubungan yang mendalam dan intim antara suami dengan istri; 2. Dari sisi tradisi yahudi, Kidung Agung sebagai gambaran kasih Allah kepada umat Israel; dan 3. Dari sisi kekristenan, orang Kristen melihat Kidung Agung sebagai lukisan kasih Kristus kepada gereja-Nya.
Terkait poin ketiga lebih lanjut Petrus menyatakan: “Kidung Agung berbicara soal hubungan yang mendalam antara Kristus sebagai mempelai laki-laki dengan jemaat sebagai mempelai perempuan”. Menangkap logika berfikir Petrus Kwik, Petrus terlihat bagai telah berhasil menggiring pembaca untuk turut menyatakan bahwa Kidung Agung bukan kitab porno.
Menyikapi persepsi Petrus tentang seks, seratus peratus penulis sependapat dengan berbagai argumen yang dikemukakannya. Namun sayang, penulis nyaris tidak melihat relevansi berbagai argumen tersebut terhadap pembelaan Petrus tentang permasalahan seks yang ditimbulkan Kidung Agung.
Persoalan seks yang dimunculkan Kidung Agung adalah masalah pornografi. Dalam kaitan demikian Kidung Agung sebagai wahyu suci dituding terindikasi sangat erotis. Memfaktakan kebenaran tudingan tersebut adalah sebuah kemestian bagi kita untuk terlebih dahulu memahami ulang arti kata porno.
Kata porno dalam entri pornografi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan: penggambaran tingkah laku secara erotis dengan lukisan atau tulisan untuk membangkitkan nafsu berahi; bahan bacaan yang dengan sengaja dan semata-mata dirancang untuk membangkitkan nafsu berahi dalam seks.
Berpegang pada pengertian porno di atas, sesuatu perbuatan akan dikatakan atau dinilai porno bila padanya terdapat unsur penggambaran tingkah laku secara erotis dan penggambaran itu bertujuan untuk membangkitkan nafsu berahi.
Rumusan di atas bukan tanpa alasan. Berbicara tentang organ manusia, tidak semua organ tubuh tersebut bisa diperbincangkan dan atau diperkatakan secara umum dan terbuka, buah dada umpamanya. Tegasnya, berbicara tentang organ manusia terlebih dalam konteks pendidikan (baca: pendidikan seks) tidak terlarang malah sebaliknya dianjurkan.
Namun tidak demikian halnya bila pembicaraan telah mengumbar nafsu berahi. Bila ini yang terjadi, maka perilaku demikian dibahasakan sebagai porno. Bila berbentuk gambar, orang akan mengatakan gambar porno. Bila berbentuk cerita, orang akan mengatakan cerita porno. Bila berbentuk buku, orang pun akan mengatakan buku porno. Tidak terkecuali kendati hal itu terdapat dalam kitab suci, dipastikan orang akan mengatakan bahwa kitab suci tersebut kitab suci porno.
Kembali kepada Kidung Agung 7:6-11 yang dijadikan Petrus sebagai sampel hujah untuk menyatakan bahwa Kidung Agung dalam Alkitab bukan kitab porno. Menakar sejauh mana kebenaran pernyataan tersebut lebih lanjut mari kita cermati petikan ayat berikut: Sosok tubuhmu seumpama pohon kurma dan buah dadamu gugusannya.
Dalam konteks seni, kendati ada frase buah dadamu gugusannya, sebatas itu mungkin dinilai wajar. Namun kewajaran tersebut sontak berubah menjadi ‘kurang ajar’ setelah kemudian kita membaca; “Aku ingin memanjat pohon korma itu dan memegang gugusan-gugusannya.” eterusnya; Kepunyaan kekasihku aku, kepadaku gairahnya tertuju. -Mari, kekasihku, kita pergi ke padang, bermalam diantara bunga-bunga pacar!
Memanjat pohon korma itu -memegang gugusan-gugusannya- kepadaku gairahnya tertuju- sepasang kekasih di malam sepi pergi ke padang berada di antara bunga-bunga pacar… Maaf! Tersebab kevulgaran ayat-ayat Kidung Agung yang suci, tidak mampu saya untuk membahasakan pada tulisan ini seperti apa peristiwa atau kejadian yang terjadi pada sepasang kekasih yang tengah dimabuk cinta berahi. Bila demikian ihwalnya, sungguh tidak tertampik bahwa sejatinya Kidung Agung memang lebih pantas disebut Kidung Porno ketimbang Kidung Agung!
Dalam konteks demikian, sebagaimana dikemukakan pada bagian awal tulisan ini, lalu bagaimana bisa terjadi Petrus Kwik sampai memalingkan penafsiran Kidung Agung yang porno hingga berbentuk: 1. Dari sisi keluarga, Kidung Agung menekankan pentingnya hubungan yang mendalam dan intim antara suami dengan istri; 2. Dari sisi tradisi Yahudi, Kidung Agung sebagai gambaran kasih Allah kepada umat Israel; dan 3. Dari sisi kekristenan, orang Kristen melihat Kidung Agung sebagai lukisan kasih Kristus kepada gereja-Nya. Kok bisa begitu??? Wallahua’lam bishawab. [tabligh/izharilyas]