
“Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya” (QS. al-Hajj [22]:78)
Mempersiapkan generasi emas dalam rangka membangun bangsa adalah tugas mulia. Jika dilakukan dengan tulus ikhlas karena Allah SwT, maka ia bernilai ibadah. Upaya sungguh-sungguh menggunakan olah pikir dan fisik untuk mewujudkannya adalah jihad fii sabilillah.
Seringkali guru mengeluh dengan kondisi tugas yang dibebankan kepadanya. Selain mempersiapkan ilmu pengetahuan untuk disampaikan ke peserta didik, guru juga dituntut untuk mempersiapkan administrasi pembelajaran yang tidak sedikit. Mulai dari Prota, Promes, dan Rencana Pembelajaran. Belum lagi serangkaian jurnal harian yang super njlimet.
Apalagi guru yang masih baru diangkat, alias guru baru. Belum ada persiapan mental mengendalikan anak-anak di kelas. Persiapan pemahaman teori dan praktek di bengkel, merupakan kesulitan tersendiri dan tidak mudah diatasi. Terkadang mereka melihat para guru senior yang sudah sertifikasi, dengan bayaran yang jauh lebih tinggi, tentunya semangat akan semakin luntur.
Tapi akan terasa beda jika setiap aktifitas diniatkan untuk berjuang. Lahan dakwah yang akan menjadi bekal kehidupan kita kelak di akherat. Sebagaimana yang disabdakan Rasulullah saw bahwa salah satu amal yang tidak terputus walaupun sudah mati adalah ilmu yang bermanfaat.
“Jika manusia meninggal dunia, maka terputuslah semua amalnya kecuali tiga hal. Yaitu shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak shaleh yang mendo’akannya.” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi dan Nasa’i)
Jika pendapatan seorang guru diukur dengan akal, maka selamanya tidak akan memenuhi kebutuhan hidup dalam satu bulan. Tapi buktinya guru yang tidak sertifikasi sekalipun relatif cukup memenuhi kebutuhan hidupnya. Pada prinsipnya Allah SwT tidak akan memberikan semua yang kita inginkan, tapi Dia sudah pasti memenuhi apa yang kita butuhkan.
Jika satu ilmu kita berikan pada siswa, kemudian suatu saat siswa tersebut mengajarkan pada keluarganya. Jika jadi guru dia ajarkan pada muridnya. Muridnya pun mengajarkan ilmu itu pada muridnya. Bukankah itu investasi guru yang tidak bisa dinilai dengan uang?
Tidak kemudian menafikan hak guru untuk dibayar. Ikhlas bukan berarti tidak dibayar. Tapi bukan hanya bayaran yang menjadi tujuan utama. Ibarat orang menanam padi selain mendapatkan beras dia juga mendapatkan ilalangnya. Jika ilalang yang ditanam, beras tidak akan pernah didapat.
Guru yang ikhlas akan mencintai pekerjaannya sebagai guru. Semangatnya akan tumbuh bukan hanya untuk mentransformasikan ilmu pengetahuan, tapi juga mendidik dengan hati untuk membangun karakter baik untuk anak didiknya.
Harusnya seorang guru bangga dengan profesinya. Karena ia menjadi ujung tombak untuk tercapainya tujuan pendidikan. Tidak peduli sebagus apapun kurikulum yang dibangun dalam sebuah negara, jika para guru tidak diberikan kompetensi yang cukup untuk menjalankan tugasnya, maka kurikulum itu tidak lebih dari alat penindasan. Seperti yang pernah dikritisi oleh Paulo Freire pada era 70-an dalam bukunya yang terkenal: Pendidikan Kaum Tertindas.
Tujuan pendidikan secara hakiki adalah tugas sejatinya seorang guru. Mencerdaskan kehidupan bangsa, memanusiakan manusia. Karena banyak manusia yang tidak berperilaku sebagaimana manusia. Itu sifat dasar yang ditegaskan dalam al-Qur’an:

“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi) neraka Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia. Mereka punya hati, tapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah), dan mereka punya mata (tapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (QS. al-A’raf [7]:179)
Lebih detail lagi Benjamin S. Bloom membagi tujuan pendidikan ke dalam 3 ranah: kognitif, afektif, dan psikomotor. Untuk mencapai tujuan ideal itu, seorang guru harus mempunyai kompetensi yang cukup. Karena petarung yang tangguh terlahir dari para pendekar yang hebat. Terkait dengan kompetensi ini, Permendiknas nomor 16 Tahun 2007 merumuskan kompetensi guru ke dalam 4 aspek: Pedagogik, Kepribadian, Sosial, dan Profesional.
Sepintas sungguh berat profesi sebagai guru. Produk yang akan dia hasilkan bukan barang mati, tapi sumberdaya manusia dengan segala kompleksitas permasalahannya. Lantas apakah kita akan mundur dan mencari profesi lain yang lebih mudah dan lebih ‘basah’? Disinilah semangat jihad itu muncul. Seringkali kita mendengar kata jihad di media massa. Identik dengan bom bunuh diri, sabotase dan dentuman peluru. Apakah itu yang dimaksud jihad dalam Islam?
Cita-cita mulia bagi seorang Muslim adalah menjadi syuhada, jaminannya surga. Lantas ketika jihad harus menghabisi nyawa orang-orang tidak bersalah, banyak wanita menjadi janda, anak-anak menjadi yatim, bukankah jihad dalam konteks ini justru menebarkan kebencian dan kesengsaraan? Bukankah Islam adalah agama damai dan penganutnya harus menebarkan kedamaian?
Jihad itu tidak harus selalu mengangkat senjata. Bersungguh-sungguh menjadi guru dan karyawan itu termasuk bagian dari jihad. Dalam Hadits Riyadhussalihin karya Imam Nawawi, terdapat pertanyaan sahabat tentang amalan-amalan yang utama dalam kehidupan.
Rasulullah saw menyesuaikan jawaban sesuai dengan penanya. Ketika ada seorang kafir Yahudi ingin masuk Islam, lantas datang pada Nabi dan bertanya. ‘amalan apa yang paling utama?’. Nabi yang tahu orang itu sering berbohong menjawab, ‘jujur’. Itulah beberapa jawaban Nabi tentang amalan utama dalam kehidupan, menyesuaikan tingkat keimanan si penanya.
Saat sahabat lain yang tingkat keimanannya bagus bertanya hal yang sama, Nabi menjawab jihad fii sabilillah. Dalam kondisi damai dan tentram, tidak ada musuh yang mengancam kaum muslimin lantas masih adakah ruang untuk berjihad?
Jihad berasal dari kata jahada, yahjudu, jihaadan. Secara bahasa berarti bersungguh-sungguh. Ada sebagian pendapat menyatakan mempunyai makna berjuang. Karena orang yang berjuang biasanya orang yang bersungguh-sungguh.
Seorang guru menyusun rencana pembelajaran, mencari metode terbaik untuk membuat siswa mudah memahami setiap pelajaran yang diberikan, berjuang mengalahkan rasa malas ketika berangkat kerja, berusaha keras untuk membangun karakter bersih dan rapi pada siswa. Itu semua merupakan ciri-ciri orang yang berjihad.
Dia termasuk orang yang berjuang dan bersungguh menjalankan tugas dan fungsinya sebagai seorang guru. Seandainya dalam proses itu tiba-tiba dia dicabut nyawanya oleh Allah, insya allah termasuk orang-orang yang mati syahid. Sebab, Nabi Muhammad saw pernah bersabda jika orang yang sedang keluar rumah untuk keperluan pembelajaran hingga kembali pulang, maka dia berada dalam jalan Allah SwT.
‘Siapa yang keluar untuk menuntut ilmu maka dia berada di jalan Allah sampai dia kembali’ (HR. Tirmidzi)
Seringkali makna jihad dipersempit hanya untuk berperang secara fisik. Seolah-olah orang yang berfikir keras untuk kemajuan bangsanya bukanlah seorang mujahid. Padahal dengan buah pikir yang baik itu bisa mencerahkan masyarakat untuk memperbaiki pendidikannya, ekonominya dan keluarganya.
Anak didik di sekolah merupakan generasi penerus perjuangan bangsa. Baik dan buruknya bangsa ini berada di tangannya. Jika mereka sedini mungkin sudah dipersiapkan dengan akhlak yang baik, pengetahuan yang luas serta keahlian yang mumpuni Insya Allah nasib bangsa ini akan lebih baik di masa yang akan datang.
Kalau dilihat dari konteks itu sangat benar sekali jika sekolah disebut sebagai pusat peradaban. Dan ujung tombaknya adalah guru. Para guru inilah yang bertanggung jawab memberikan petuah tentang akhlak, menularkan semangat berkarya, melatih kedisiplinan dalam kerja serta menanamkan nilai-nilai keimanan.
Itulah yang disebut berjihad dalam keadaan damai. Jihad itu ada tidak hanya dalam suasana perang fisik tapi juga dalam keadaan damai.
Sedangkan dalam konteks perang secara umum setiap saat setiap waktu kita dalam keadaan perang. Memang perang fisik sudah berakhir sejak diproklamirkan kemerdekaan pada tahun 1945. Tapi perang budaya, perang ilmu pengetahuan, perang hegemoni terus berlangsung sampai detik ini.
Kita sudah lihat bagaimana bangsa kita diserang dengan budaya. Membuka aurat dan maksiat seolah menjadi tren kemajuan. Fashion gaya barat seolah yang terbaik. Figur idola bukan lagi tokoh-tokoh Muslim. Apakah itu bukan peperangan?
Istilah westernisasi yang awal adalah sebuah upaya untuk mengadopsi nilai kemajuan dari dunia barat saat ini disalah artikan menjadi gaya hidup dan budaya yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam berkemajuan. Jika kita sebagai guru mempersiapkan anak didik agar tidak terpengaruh pada hal negatif seperti itu apakah tidak bisa disebut berjihad?
Media internasional selalu menempatkan umat Islam sebagai orang yang suka kekerasan, bom bunuh diri, kumuh, miskin dan terpencil, jauh dari kemajuan ilmu pengetahuan. Dan kita sebagai guru memberikan ilmu tulis menulis pada anak didik untuk mengimbangi kampanye negatif seperti itu, tidakkah kita sedang berjihad melawan kemungkaran? [islamaktual/matan/badruttamam]