Gratifikasi dalam Perspektif Hadits [1]

Latar Belakang
Perkembangan belakangan ini, hadiah mempunyai implikasi pada kedekatan hubungan dan adanya saling menyayangi antara pemberi dengan penerima, sering disalahgunakan dan disalahpahami oleh yang menerima atau oleh pemberi. Hadiah kemudian dipahami sebagai legalisasi dari niat atau keinginan terselubung. Di Indonesia, khusus pejabat ada aturan yang tegas untuk tidak menerima hadiah. Hal itu sejalan dengan sumpah jabatan yang selalu diucapkan. Ada dua poin penting dari sumpah tersebut yang berkaitan dengan hadiah, yaitu memberi atau menerima.
Dalam perkembangan belakangan ini, banyak pejabat, petinggi dan tidak terkecuali oknum dari lembaga penegak hukum terlibat dalam penerimaan hadiah yang terindikasi suap, korup atau gratifikasi. Ada penyelewengan terhadap wewenang atau penyalahgunaan kekuasaan. Aturan yang tegas untuk tidak menerima sesuatu dalam bentuk hadiah atau apapun untuk bangsa Indonesia telah termaktub dalam regulasi yang ada (UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi). Juga ada kebijakan yang diambil oleh institusi dengan penandatanganan Pakta Integritas.
Mengambil atau menerima hadiah di luar yang seharusnya diterima akibat dari jabatan dan berkaitan dengan tugas, malah akan mengarah pada tindakan korupsi atau suap. Sebagian besar dari tersangka korupsi yang kasusnya sudah diproses, penyebabnya adalah pemberian/hadiah dari seseorang di luar hak.
Dalam ajaran Islam, agama memberikan jaminan terjaganya hak material bagi umat Islam, sehingga tidak ada orang yang aman ketika mengambil sesuatu yang bukan haknya (QS. al-Baqarah [2]:282 dan al-Anbiya’ [21]:107). Orang yang mengambil hak orang lain dengan cara yang tidak benar akan mendapatkan hukuman sesuai dengan kejahatan yang dilakukan.
Untuk mengetahui semua ketentuan tentang hadiah ini, keterangan yang diberikan oleh Rasulullah saw merupakan suatu yang urgen untuk diperhatikan dan diungkapkan, karena terdapat beberapa alasan normatif dan logis tentang itu. Pertama, secara normatif, Rasulullah saw telah dinyatakan Allah sebagai teladan (QS. al-Ahzab [33]:21).
Hadiah kepada Pejabat = Korup
Hadiah disamping sebagai penghargaan juga dijadikan alasan atau dalih oleh seseorang untuk memberikan sesuatu kepada penentu kebijakan atau penguasa/pejabat yang telah memuluskan urusannya. Dalam bentuk lain, hadiah juga diberikan oleh seseorang kepada petugas yang telah melaksanakan tugasnya, yang dalam UU No. 20 tahun 2001 disebut sebagai gratifikasi. Gratifikasi adalah pemberian dalam arti yang luas meliputi pemberian uang, barang, rabat atau diskon, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.
Untuk mengetahui perhatian yang diberikan Islam dalam Hadits terhadap hadiah, uslub yang digunakan variatif, dengan menggunakan perintah langsung (fi’il amr), dengan janji atau jaminan yang akan diperoleh dan dengan perintah menerima hadiah, dan larangan menolak hadiah yang diberikan.
  1. Ancaman Menerima Hadiah karena Memberikan Pertolongan
Islam selalu memberikan aturan yang mengarahkan pada tidak adanya wilayah abu-abu dalam setiap tindakan. Pertolongan merupakan aplikasi dari perintah al-Qur’an untuk saling tolong-menolong dalam hal kebajikan. Untuk itu, perlu diperhatikan pesan Rasulullah saw berikut ini:
Dari Abu Umamah, Rasulullah bersabda: “Siapa saja yang memberikan bantuan yang pada dasarnya tanpa imbalan kepada saudaranya, kemudian yang dibantu memberikan hadiah lalu ia menerimanya, maka sesungguhnya ia telah masuk dalam wilayah riba.”
Hadits di atas memberikan ketentuan yang sangat tegas, dengan tidak mengaburkan antara pertolongan dengan mencari keuntungan atau upah. Ada pemisahan yang sangat jelas pada syafaat dengan pekerjaan yang ada upah atau gaji. Ancaman  yan diberikan Rasul bahwa sama dengan riba ketika pertolongan dimaknai dengan bisnis.
  1. Hadiah kepada Pejabat/Petugas
Akhir-akhir ini marak sekali korupi di kalangan pejabat, sehingga ada kebijakan instansi bagi pejabat yang akan diangkat untuk menandatangani pakta integritas yang menjamin bahwa disamping sumpah, seorang pejabat diharapkan tidak akan menyalahgunakan wewenang dan kekuasaannya. Pasal 12 B UU No. 20 tahun 2001 menyatakan bahwa setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap apabila berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.
  1. Hadiah kepada Petugas yang sedang Bertugas
Sudah merupakan rahasia umum bahwa ada hadiah/cendera mata yang diberikan kepada pejabat yang melaksanakan tugas di suatu tempat. Mereka yang dikirim telah dibekali dengan transportasi, akomodasi dan konsumsi, serta insentif selama menjalankan tugas. Akan tetapi, di tempat tugas, pihak yang dikunjungi juga memberikan hadiah kepadanya baik berupa uang atau benda lainnya. Oleh sebab itu harus dilihat Hadits Nabi berikut:
Dari Abdullah ibn Buraidah dari ayahnya, Rasulullah saw bersabda: “Siapa yang kami tugaskan untuk melakukan sesuatu dan kami telah memberikan insentif untuk tugasnya itu, maka apa yang diambilnya selain dari itu termasuk “ghulul” (khianat/korup)”

 

Hadits ini menjelaskan bahwa orang yang ditugaskan untuk melakukan tugas, dan ia telah diberi gaji sebagai imbalan dari pelaksanaan tugasnya, maka mengambil selain dari gaji adalah ghulul (khianat). Kenyataan saat ini, banyak yang telah mendapatkan insentif atas tugas yang dilakukannya, masih menerima hadiah dari pihak di tempat pelaksanaan tugasnya. [islamaktual/sm/hj.enizar,Mag]

Leave a Comment