Suatu ketika Ibn ‘Umar menjenguk Ibn ‘Amir, lalu Ibn ‘Amir berkata: “Ya Ibn ‘Umar, sudilah kiranya engkau mendoakan untuk kesembuhanku. Ibnu ‘Umar ra menjawab: “Tidak, aku tidak sudi. Aku mendengar Rasulullah saw bersabda: “Shalat itu tidak diterima kecuali dengan bersuci; dan sedekah juga tidak diterima jika berasal dari harta yang haram (hasil pengkhianatan, termasuk korupsi).” (HR. Ibn Hibban)
Oleh karena itu, dalam sedekah tidak berlaku hukum “pencucian atau pembersihan harta”. Artinya, harta yang diperoleh dengan cara haram, bathil, dan ilegal, seperti korupsi tak bisa “dibersihkan” atau dibuat “impas” dengan dibelanjakan di jalan Allah SwT. Patut diduga bahwa sedekah hasil korupsi itu hanyalah untuk pamer dan “mengelabui” publik agar korupsinya dilupakan. Padahal Allah SwT menyatakan dengan tegas bahwa sedekah itu bisa rusak karena riya’.
Selain tak diterima dan tak berpahala, sedekah hasil korupsi juga tak memenuhi kriteria sedekah yang paling afdhal menurut Nabi saw. Sedekah yang terbaik dan paling besar pahalanya adalah sedekah yang dilakukan ketika dalam keadaan sehat, khawatir jatuh miskin, dan sedang bercita-cita menjadi kaya. Sedang sedekah hasil korupsi dilakukan saat koruptor kaya raya, ketika khawatir menerima hukuman duniawi yang lebih berat.
Abu Hurairah ra meriwayatkan bahwa ada seorang menemui Rasulullah saw dan bertanya kepada beliau: “Ya Rasulullah, sedekah apakah yang paling besar pahalanya?” Rasulullah saw bersabda: “Engkau bersedekah pada waktu sehat, bakhil, takut miskin, dan sedang berangan-angan menjadi orang kaya. Janganlah kamu memperlambatnya sehingga ajal maut menjemput, lalu kamu berkata: ‘Harta untuk si Fulan sekian, dan untuk si Fulan sekian, padahal harta itu telah menjadi milik si Fulan (ahli waris).” (HR. Bukhari dan Muslim)
Al-Qur’an juga menegaskan bahwa sedekah dan infak yang baik dilakukan jauh sebelum mendekati ajal, karena sedekah harus dilandasi kesadaran spiritual terhadap nilai harta, bukan disemangati “ajimumpung”; mumpung belum mati, meski yang bersangkutan sudah tak sadarkan diri. Jadi, bersedekahlah selagi masih memiliki iman tauhid sosial yang tulus ikhlas untuk berbagi. Jangan bersedekah di saat terbelit masalah korupsi!
“Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata: “Ya Rabb-ku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian) ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang shalih?” (QS. al-Munafiqun [63]:10)
Selain itu, tauhid sosial dalam Islam mengajarkan kepada kita cara bersedekah yang tidak bernuansa riya’, yaitu sedekah yang tidak diekspos atau dipublikasikan dengan niatan tertentu. Karena Allah SwT pasti melihat ketulusan dan kesucian hati orang yang bersedekah. Nabi saw menggolongkan orang yang bersedekah dengan tidak diekspos, dilakukan dengan riya’, seperti tangan kanan yang bersedekah, tetapi tangan kirinya tidak tahu, ke dalam tujuh golongan orang yang di akhirat kelak akan mendapat garansi perlindungan dari Allah SwT.
Nabi saw bersabda: “Ada tujuh golongan manusia yang akan dinaungi oleh Allah SwT pada hari dimana tidak ada naungan (perlindungan) kecuali naungan-Nya. Ketujuh golongan itu adalah imam yang adil, pemuda yang selalu beribadah kepada Allah, seseorang yang hatinya tertambat di masjid, dua orang yang saling mencintai karena Allah, kedua saling bertemu dan berpisah karena-Nya, seorang laki-laki yang digoda oleh perempuan yang cantik dan berkedudukan tinggi, lalu ia berkata: “Aku takut kepada Allah”, seseorang yang bersedekah lalu tidak mengekspos sedekahnya itu sehingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diinfakkan tangan kanannya, dan seorang yang mengingat Allah dalam kesendirian, sehingga kedua matanya meneteskan air mata.” (HR. Bukhari)
Sedekah dalam perspektif tauhid sosial itu bersifat multidimensi, tidak terbatas sedekah harta, tetapi juga bisa sedekah ilmu, sedekah sikap simpatik (senyum manis yang tulus). [islamaktual/sm/muhbibabdulwahab]