Ibnu Katsir dan Empat Tahap Memahami Al-Qur’an

Siapa yang tidak mengenal Imam Ibnu Katsir atau mendengar kitab Tafsir Al-Qur’an al-Azim? Kitab tafsir ini sedemikian populer di penjuru dunia, termasuk Indonesia. Karya monumental tersebut merupakan salah satu dari buah pikiran Ibnu Katsir. Sosok ulama yang menguasai beragam bidang keilmuan. Wawasannya sangat luas. Kepakarannya dibuktikan dengan karya-karya berkualitas tinggi. Karya-karya yang tidak lekang oleh sejarah. Karya-karya yang masih dapat dinikmati hingga kini. Karya dari ulama besar yang hidup dalam keluarga terhormat, tetapi menghadapi banyak tantangan dalam menimba ilmu. Bahkan tantangan kematian.
Ibnu Katsir lahir dan hidup di tengah keluarga terhormat. Ibnu Katsir lahir di Kampung  Mijdal, daerah Bushra, sebelah timur kota Damaskus, Suriah, pada tahun 700 H/1301 M. Nama lengkapnya Imad al-Din Abu Fida’ Islam’il ibn al-Khatib Syihab al-Din Abu Hafsah Umar ibn Katsir al-Syafi’i al-Dimasyqi. Ia sering disebut dengan al-Busrawi, gelar yang dilekatkan pada tanah kelahirannya: Busra atau Basrah. Selain itu, ia juga diberi gelar al-Dimasyqi karena kota Basrah yang terletak di kawasan Damaskus.
Ayah Ibnu Katsir berasal dari Bushra, sementara ibunya berasal dari Mijdal. Ayahnya, Syihabuddin Abu Hafsh Umar ibn Katsir, adalah ulama yang faqih dan berpengaruh di daerahnya. Ia juga terkenal sebagai ahli ceramah. Ayahnya lahir sekitar tahun 640 H dan wafat pada bulan Jumadil ‘Ula 703 H di daerah Mijdal, dan dikuburkan di sana. Ibn Katsir adalah anak yang paling kecil di keluarganya. Sosok ayah sangat dalam keluarga. Kebesaran serta teladan sang ayah sangat memotivasi Ibnu Katsir. Bahkan, ia berhasil menandingi bahkan melampaui keulamaan ayahnya.
Dibesarkan dalam keluarga yang taat beragama dan menjunjung nilai-nilai keilmuan, menjadi modal Ibnu Katsir dalam menekuni banyak ilmu pengetahuan hingga menjadi sosok ulama yang diperhitungkan. Sayangnya Ibnu Katsir tidak mengalami masa indah bersama ayahnya. Ayahnya wafat ketika ia baru berumur tiga tahun. Nilai-nilai cinta ilmu kemudian dilanjutkan oleh kakaknya, Abdul Wahab. Kakaknya inilah yang mendidik dan mengayomi Ibnu Katsir kecil, hingga ia selesai menghafalkan al-Qur’an pada saat usianya genap sebelas tahun.
Pada tahun 707 H, Ibnu Katsir pindah ke Kota Damaskus. Ia pun tumbuh dan berkembang di kota ini. Ia banyak menimba ilmu dari para ulama besar dan terkenal di masa itu. Ia berguru kepada Syaikh Burhanuddin Ibrahim al-Fazari, Isa bin Muth’im, Ibn Asyakir, Ibn Syairazi, Ishaq ibn Yahya ibn al-Amidi, Ibn Zarrad, al-Hafizh adz-Dzahabi, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Syaikh Jamaluddin Yusuf ibn Zaki al-Mizzi, dan masih banyak lagi. Belum puas sampai di situ, Ibnu Katsir juga mengembara untuk belajar dan menimba ilmu hingga ke Mesir dan beberapa negara lain.
Ibnu Katsir dikenal pemberani. Ia tidak gentar berhadapan dengan penguasa. Ia terdepan mendukung kebijakan penguasa yang sesuai dengan petunjuk Ilahi. DI saat yang sama, ia juga terdepan mengkritik atau memilih berseberangan dengan penguasa yang menyalahi aturan Tuhan dan Undang-Undang yang membawa kemaslahatan untuk umat. Ia bahkan pernah harus menanggung siksaan karena mengeluarkan fatwa tentang thalaq yang berbeda dengan kebijakan pemerintah. Sempat juga ia disidang karena menjatuhkan hukuman mati terhadap orang yang mengaku dirinya menyatu dengan Tuhan.
Petualangannya menuntut ilmu tidak pernah surut. Meski sulit dan mengalami banyak hambatan, semangatnya justru semakin membara. Sebut saja, misalnya, peristiwa pembantaian yang dilakukan oleh bangsa Tartar terhadap ulama dan kaum Muslimin ketika itu. Secara membabi buta, bangsa Tartar bahkan memusnahkan buku-buku referensi penting dan situs atau pusat-pusat peradaban Islam. Kondisi ini tidak mempengaruhi mental Ibnu Katsir untuk menerima cahaya ilmu, apapun kondisi lingkungannya.
Ketekunan dan kegigihannya dalam belajar, membuahkan hasil yang luar biasa. Ibnu Katsir kemudian dikenal sebagai ahli ilmu-ilmu al-Qur’an, tafsir, tokoh Hadits, sejarawan, dan ahli fiqih. Saat itu, abad ke-8 H, keulamaannya sangat disegani. Kepiawaiannya dalam berbagai bidang tersebut diakui oleh banyak ulama besar. Muhammad Husain al-Zahabi, dalam al-Tafsir wa al-Mufassirun, menyatakan “Ibnu Katsir telah menduduki posisi yang sangat tinggi dari sisi keilmuan, dan para ulama menjadi saksi terhadap keluasan ilmunya, penguasaan materinya, khususnya dalam bidang tafsir, Hadits, dan tarikh”.
Keahliannya dalam berbagai bidang ia tuangkan dalam karya tulis yang sangat mumpuni dan mendalam. Dalam bidang fikih, misalnya, ia menulis al-ijtihadi fi Talab al-Jihad dan Kitab Ahkam. Di ranah kajian Hadits, ia menulis Ikhtisar ‘Ulum al-Hadits dan Syarah Shahih Bukhari. Adapun kitab al-Bidayah wa al-Nihayah merupakan karangan Ibnu Katsir tentang tema sejarah. Kitab berjumlah 14 jilid ini memaparkan berbagai peristiwa sejak awal penciptaan sampai peristiwa-peristiwa yang terjadi pada tahun 768 H. Kitab ini tetap menjadi salah satu rujukan utama hingga kini. Adapun karya yang paling monumental adalah Tafsir Al-Qur’an al-’Alim berjumlah 10 jilid, atau disebut juga dengan nama Tafsir Ibnu Katsir. Kitab Tafsir yang pertama kali diterbitkan di Kairo, Mesir, pada tahun 1342 H/1933 M.
Dalam Tafsir Al-Qur’an al-Azim dan Fadhail Al-Qur’an Ibnu Katsir menawarkan metode dalam memahami dan menafsirkan al-Qur’an. Ia menawarkan bahwa dalam memahami dan menafsirkan Al-Qur’an. Ia menawarkan bahwa dalam memahami dan menafsirkan al-Qur’an mesti melalui empat tahap. Pertama, menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan ayat-ayat lainnya. Menurutnya, inilah tahap tafsir yang paling utama. Bahwa sebenarnya makna dan maksud ayat al-Qur’an dapat dicari dalam ayat-ayat yang lain. Kedua, menafsirkan al-Qur’an dengan Hadits dan informasi Nabi. Maksud dari tahap ini adalah bahwa apabila suatu ketika tidak dapat menemukan adanya penafsiran al-Qur’an secara gamblang dari ayat-ayat lain, maka al-Qur’an harus ditafsirkan melalui penjelasan dari Hadits Nabi. Ketiga, menafsirkan al-Qur’an dengan perkataan (ijtihad) para sahabat Nabi. Langkah ini ditempuh apabila dua langkah sebelumnya mengalami kebuntuan. Alasannya, para sahabat merupakan orang yang paling mengetahui konteks sosial turunnya ayat-ayat al-Qur’an. Keempat, menafsirkan al-Qur’an dengan pendapat dari para tabi’in. Empat metode itu mesti dilakukan secara bertahap dan sistematis dan, tentu saja, dengan penguasaan kaidah-kaidah bahasa Arab.

 

Di antara warisan pengetahuan yang lain, empat tahapan dalam memahami dan menafsirkan al-Qur’an inilah warisan yang sangat berharga dari Ibnu Katsir. Oleh karena itulah Tafsir al-Qur’an al-’Azim setebal 10 jilid masih menjadi salah satu rujukan utama dalam memahami ayat al-Qur’an. Dari warisan ini pula, kajian tafsir al-Qur’an makin marak. Salah satu warisan terbesar dari ulama besar yang wafat pada tahun 1372 M di Damaskus, Suriah. [islamaktual/sm/m.ridhabasri]

Leave a Comment