Tsa’labah bin Abdurrahman adalah sahabat Nabi yang masih belia, sekitar 17 tahun. Meski ia masih belia, namun ia sangat setia melayani Rasulullah saw. Hingga suatu ketika Rasulullah mengutusnya untuk satu keperluan. Dalam perjalanan mengemban tugas itu dia melalui rumah salah seorang golongan Anshar. Secara tidak sengaja, ia melihat seorang wanita yang sedang mandi. Kendati tidak sengaja, ia teramat takut “jangan-jangan akan turun wahyu berkenaan dengan perbuatannya”. Karena begitu takutnya, ia pun menjauhkan diri dari kota Madinah. Ia lari mendaki sebuah gunung yang berada di antara Makkah dan Madinah selama 40 hari.
Saat ini kita boleh bertanya, masih adakah potret seorang remaja beriman “sekelas” Ts’alabah bin Abdurrahman? Pemuda yang memiliki keteguhan hati dalam menjaga dan memaknai keberimanan. Keimanannya kepada Allah dan Hari Akhir menjadikannya begitu dekat kepada Tuhannya dan sangat berhati-hati dalam berperilaku. Ia menata hatinya untuk menjauhi perilaku pornografi dan segala jenis kemaksiatan. Ia merasa berdosa besar, meski ia sendiri tidak pernah sengaja melihat dan melakukannya.
Dalam hal ini kita bisa menyimak laporan reporter The Telegraph (Januari 2011), Stevy Maradona. Ia pernah menurunkan hasil penelitian sebuah lembaga survey, Faith Matters, yang bermarkas di London tentang pengalaman batin tiga remaja Inggris yang baru masuk Islam. Hana Tajima (23 tahun) yang bekerja sebagai perancang busana menyatakan, “Awalnya, aku memiliki beberapa teman Muslim saat kuliah. Saat itu aneh saja. Mereka jarang keluar malam, ke klub atau nongkrong. Dan ketika aku mengambil mata kuliah filsafat, aku mulai bingung dengan makna hidupku. Padahal saat itu aku cukup terkenal di kampus. Aku sudah merasa cukup. Tapi aku bertanya, betulkah ini kehidupan yang aku inginkan? Lalu aku membaca literatur tentang Islam dan perempuan. Anehnya, ternyata Islam sangat relevan. Semakin banyak aku membaca, semakin yakin aku terhadap Islam. Dan aku merasa lebih tenang menjalani hidupku,” katanya.
Lain lagi dengan pengalaman Denise Horsley (26) yang bekerja sebagai guru tari. Ia kenal Islam lewat pacarnya. “Saat itu banyak orang bertanya apakah aku menjadi mualaf karena pacaran? Aku jawab tidak! Aku menemukan Islam.” katanya.
Horsley yang kini berhijab mengatakan, “Hijab adalah konsep penting dalam Islam. Hijab ini bukan sekedar pakaian atau tren. Mengenakan hijab justru menyatakan kejujuran atas diri sendiri dan apa yang akan kau lakukan. Sebenarnya sih, aku masih orang yang sama dengan yang sebelumnya. Cuma sekarang aku tidak minum minuman keras, makan babi, dan sekarang aku shalat lima kali sehari,” katanya.
Sementara itu, Paul Martin (27) mengatakan ia menikmati gaya hidup sebagai Muslim. “Awalnya aku berkenalan dengan Islam setelah mengamati gaya hidup teman-teman Muslim. Mereka tampak menikmati betul hidup, tidak merusak tubuhnya. Setelah itu, aku mendalami Al-Qur’an,” katanya.
Seorang teman Martin lantas mengenalkannya ke seorang tokoh Islam yang berprofesi sebagai dokter. Martin banyak berkonsultasi tentang Islam dengannya. Mereka ngobrol tentang Islam di kafe. “Saya mengucapkan dua kalimat syahadat saya di kafe,” kata Martin. “Saya tahu bahwa banyak yang mengucapkan dua kalimat syahadat di masjid. Tapi, bagi saya, Islam bukanlah sekedar tempat di mana kau percaya pada Allah SwT, namun Islam adalah tempat di mana ia berlabuh di hatimu,” katanya.
Begitu percaya diri (PeDe) tiga remaja kosmopolit itu memeluk iman. Imannya justru tidak membuatnya galau dengan kehidupan dunia modern yang ia tekuni. Dari sini dapat diambil kesimpulan bahwa salah satu upaya yang bisa dilakukan untuk menjembatani ketidakpercayaan diri pada remaja Muslim sekarang yang cenderung labil adalah dengan cara membantu mereka dalam mempersepsikan diri mereka sebagai seorang yang beriman.
Dengan kata lain, sebagai remaja Muslim, ia perlu mengenali citra dan potensi dirinya (ma’rifatu-nafs). Ia perlu dibantu untuk mendefinisikan tentang keimanan, pandangan hidup dan penilaian agama terhadap dirinya. Jika ini telah di(bantu)lakukan, ia akan mengetahui apa yang mesti dilakukan oleh seorang Mukmin.
Inilah salah satu tantangan ormas Islam sebagai gerakan Islam berkemajuan. Pada satu sisi, ormas Islam di Indonesia berkewajiban memperkenalkan dan menanamkan norma dan nilai-nilai Islam dalam diri remaja dan, pada sisi yang lain, mereka dituntut mampu menampilkan model pemahaman keagamaan dan perilaku hidup Islam yang tetap “gaul” dengan perkembangan dan kemajuan zaman. Wallahu a’lamu bi al-shawab. [islamaktual/sm/bahrussururiyunk]