Namanya “Pak Jimat”

Pagi itu, tepatnya saat menjelang subuh, masjid kami masih begitu lengang. Hujan rintik-rintik dan udara dingin tampaknya cukup menghalangi azam mereka untuk segera hadir ke masjid yang sebenarnya tak jauh dari rumah-rumah mereka.
Baru ada seorang lelaki tua, seumur ayahku (allahu yarham) yang setiap subuh selalu menunggu sang muazin mengalunkan suara merdunya di masjid kami di saat subuh tiba. Nama lelaki itu adalah “Pak Jimat”, yang kata beliau nama itu diberikan oleh orangtuanya dengan sebuah harapan: “bisa menjadi manusia hebat”, sehebat jimat yang diyakini oleh orang-orang ‘kejawen’ di kampung kami (orang-orang jawa yang sangat percaya terhadap mitos-mitos kehebatan benda-benda pusaka, warisan leluhur mereka).
Pak Jimat yang saya sebut ini bukan orang yang percaya dengan ‘jimat’, sebuah benda yang di dalam khazanah ilmu tauhid disebut dengan istilah tamimah. Bahkan beliau sangat berhati-hati dengan semua benda yang bisa menjerumuskan dirinya terjebak dalam sikap ‘syirik’. Jangankan menyimpan ‘jimat’, beliau selalu wanti-wanti (memberi nasihat) kepada putera-puterinya untuk tidak percaya terhadap ‘jimat-jimat’, baik berupa benda-benda konkret maupun abstrak. Beliau katakan, jangan ciptakan ‘tuhan-tuhan’ palsu, karena di alam ini hanya ada satu Tuhan, Allah Yang Maha Esa. The Omnipotent (Yang Maha Kuasa) dan The Omnipresent (Yang Maha Hadir), kata para profesor di kampus-kampus kita.
Manusia modern -kata Pak Jimat- harus mempunyai pola pikir yang rasional dan realistis. Meskipun di belahan sana (yang juga serba modern) sangat disayangkan masih banyak orang yang berpikir tidak rasional, sehingga mereka banyak memercayai hal-hal yang irasional, contoh konkretnya adalah ‘jimat’. Kenyataannya, kata pak Jimat, dalam budaya masyarakat Indonesia pada umumnya, ‘jimat’ masih sangat populer dan lekat dengan kehidupan sehari-hari. berbagai bentuk ‘jimat’ kini marak di kolom-kolom iklan media cetak. Kalau hanya sekadar irasional, maka masalahnya tidak sebesar jika yang irasional ini sampai menjurus kepada syirik. Ironis, gumam pak Jimat. “Hari gini kok masih ada orang percaya sama jimat”.
Dalam sejarah Islam, diungkapkan bahwa tamimah (jimat) pada masa jahiliyah adalah sesuatu yang dikalungkan pada anak kecil untuk menolak ‘ain (suatu penyakit yang disebabkan oleh pandangan mata). Namun pengertian tamimah sekarang ini tidak terbatas pada bentuk dan kasus tertentu, tetapi mencakup semua benda dari bahan apa pun, bagaimanapun cara pakainya dan tempat pakainya. Ada yang dari bahan kain, benang, kerang maupun tulang, baik dipakai dengan cara dikalungkan, digantungkan dan sebagainya. Tempatnya pun bervariasi baik di mobil, rumah, leher, kaki dan sebagainya. Contoh gampangnya seperti kalung, batu akik, cincin, sabuk (ikat pinggang), rajah (tulisan Arab yang ditulis per huruf dan kadang ditulis terbalik), selendang, keris atau benda-benda yang digantungkan pada tempat tertentu seperti di atas pintu di kendaraan, di pintu depan rumah, diletakkan pada ikat pinggang atau sebagai ikat pinggang, sebagai susuk, atau ditulis di kertas, dibakar lalu diminum dan lain-lain dengan maksud untuk mengusir kejahatan atau tolak bala. Bahkan, ‘jimat’ di zaman sekarang sudah berujud dalam benda-benda abstrak, termasuk doa-doa -yang dinilai sakral- yang dikemas dengan kemasan-kemasan tertentu.
Jimat, yang makna esensialnya adalah “berhala-berhala” (sesembahan) orang musyrik tersebut sebenarnya tidak akan (pernah) mampu memberikan manfaat atau menolak mudharat bagi penyembahnya karena memang berhala bukan merupakan sebab untuk mencapai maksud penyembahnya. Begitu pula dengan para pengguna tamimah yang telah mengambil sebab yang bukan merupakan sebab. Mereka telah terjebak dalam sikap idolatry (penyembahan terhadap sesuatu yang diidolakan). Penyembahan kepada sesuatu yang tidak layak disembah.
Dalam sebuah riwayat diungkapkan, bahwa Rasulullah saw pernah melihat seseorang yang memakai gelang kuningan di tangannya, maka beliau bertanya: “Apa ini?” Orang itu menjawab: “Penangkal Sakit”. Beliau pun -secara spontan- bersabda: “Lepaskanlah, karena dia hanya akan menambah kelemahan pada dirimu. Jika kamu mati, sedang gelang itu masih ada pada tubuhmu maka kamu tidak akan beruntung selama-lamanya” (HR. Ahmad). Rasulullah saw memerintahkan untuk melepas tamimah tersebut dan mengancam dengan ancaman yang sangat keras jika tidak dilepas hingga mati, menunjukkan bahwa pengguna ‘jimat’ adalah pelaku dosa besar. Dan ancamannya adalah: “tidak akan beruntung selama-lamanya”.
Tamimah (jimat), kini sudah juga mewujud dalam kehidupan umat Islam modern menjadi dua macam: (1) Tamimah yang berupa al-Qur’an, (2) Tamimah yang bukan dari al-Qur’an. Jika tamimah itu berupa al-Qur’an (misalnya digantungkan dalam mobil untuk menolak bala’) maka pendapat yang lebih kuat dalam hal ini adalah “terlarang”, meskipun ada ulama yang menyatakan bahwa hukumnya “tidak syirik”, karena menggunakan al-Qur’an disini berarti bersandar kepada kalamullah bukan kepada makhluk. Hal tersebut terlarang karena keumuman dalil larangan tamimah. Jika tamimah dengan ayat diperbolehkan niscaya Rasulullah saw akan menjelaskannya seperti halnya ruqyah. Di samping itu pemakaian tamimah dengan al-Qur’an dapat menyebabkan terlecehkannya al-Qur’an, seperti ketika rangkaian ayat-ayat al-Qur’an itu diperjualbelikan layaknya seperti ‘jimat-jimat’ yang lain.
Jika tamimah itu berupa non al-Qur’an maka -kata para ulama- hukumnya haram dan termasuk ‘syirik’. Jika seseorang meyakini bahwa jimat itu hanya sebagai sebab semata dan tidak memiliki kekuatan sendiri maka ia terjatuh dalam syirik kecil. Adapun bila ia meyakini bahwa jimat tersebut dapat berpengaruh tanpa kehendak Allah SwT, maka ia terjatuh dalam syirik akbar (lebih besar), karena hatinya telah bersandar kepada selain Allah SwT.
Tanpa harus membedakan kegunaan kedua macam ’jimat’ di atas, kini ternyata persoalan jimat bukan hanya terkait dengan akidah seseorang, tetapi juga sudah merambah ke ranah ‘akhlak’. Yaitu: akhlak manusia kepada Allah. Apakah selama ini kita sudah tidak percaya lagi kepada Allah, bahwa Dia adalah yang memiliki kekuasaan mutlak atas semua makhluk-Nya, hingga kita harus bersandar pada ‘jimat-jimat’, yang esensinya adalah ‘tuhan-tuhan’ palsu itu?
Belajar pada Pak Jimat yang tak pernah punya “jimat”, yang kini telah menjadi manusia “sukses”, yang rajin beribadah dan mewujudkan kesadaran ibadahnya ke dalam bangunan interaksi muamalahnya kepada semua orang: ”menjadi orang shalih, dalam dimensi vertikal maupun horisontal. Sudah saatnya kita buang ‘jimat-jimat’ yang berupa benda atau apa pun yang dapat membelenggu kita untuk menemukan jati diri kita sebagai orang shalih”.
Kalau Pak Jimat -ketika membangun keshalihan diri- sudah begitu tidak percaya terhadap ‘jimat’ yang justru sering membuat orang lupa untuk membangun keshalihan vertikal dan horisontalnya, apakah kita -yang semestinya lebih cerdas- juga sudah berlepas diri dari darinya? Untuk bertuhan kepada yang benar-benar Tuhan (Allah), dan menjadi orang yang benar-benar shalih (tanpa ‘jimat-jimat’) seperti Pak Jimat?
Tanyakanlah pada hati kita! [islamaktual/sm/muhsinhariyanto]

Leave a Comment