Seng Kuoy tengah berkumpul bersama warga desa, termasuk 15 perempuan dan anak-anak Cham, suatu malam pada 1977. Tiba-tiba, pasukan keamanan Khmer Merah datang dan menangkap orang-orang Cham.
Kemudian tangan mereka diikat ke belakang. Seorang kader Khmer Merah lalu memerintahkan Kuoy membawa orang-orang Cham ke pagoda, yang menjadi basis pasukan rezim itu.
“Saya ada di sana. Saya menerima perintah untuk mendorong orang-orang itu dengan gerobak sapi. Saya tidak berani menolak–kalau menolak, saya pasti akan dibunuh bersama Cham. Mereka mengeluarkan perintah dan saya harus mengikuti untuk mengantar mereka ke pagoda. Sejak itu, saya belum pernah melihat orang-orang Cham itu lagi, tidak sekali pun.” Demikian kesaksian itu dituturkan Kuoy di muka pengadilan kasus kekejaman rezim Khmer Merah, awal September lalu.
Hal serupa dituturkan Samrit Muy, yang melayani milisi Khmer pada saat insiden 1977. Setiap kali Khmer Merah ingin membunuh orang, mereka akan dibawa ke pagoda dan musik keras dimainkan. Kaum Cham, tua, muda, laki, perempuan, berbaris menuju pagoda. Setelah itu, Cham “menghilang.” “Itu terjadi sampai tidak ada orang Cham tersisa di desa,” kata Muy.
Cham adalah etnis minoritas terbesar di Kamboja. Kamboja atau Kampuchea, negara monarki konsti tusional di kawasan Asia Tenggara, ini beribu kota di Phnom Penh. Mayoritas rakyat Kamboja berasal dari etnis Khmer. Buddha merupakan agama mayoritas, di samping minoritas Katolik dan Is lam. Islam masuk ke negara ini pada abad ke- 15, saat orang-orang Cham terdiaspora pascakejatuhan Kerajaan Champa.
Agnes De Flo dalam Transnational Islamic Movement in Cambodia menulis, Muslim mewakili sekitar empat persen dari total populasi negara. Komunitas Muslim di Kamboja terbagi menjadi dua kelompok. Kelompok mayoritas dipegang etnis Cham yang berasal dari Champa.
Kemudian, ada etnis Chvea, yaitu Muslim Melayu yang hidup di bagian selatan negara itu. Kedatangan Chvea ke Kamboja berlangsung sebelum migrasi besar-besaran etnis Cham. Mereka awalnya para pedagang dari Semenanjung Melayu, Jawa, dan Sumatra, yang menetap di Kamboja sejak abad ke-14 M.
Kehidupan etnis Cham di Kamboja relatif stabil. Mereka menjalin hubungan yang baik dengan penguasa. Pada 1950, Pemerintah Kamboja menjuluki etnis Cham- Melayu Muslim dengan Khmer Islam untuk memperkuat integrasi di tengah masyarakat. Kehidupan yang penuh harmonis itu berubah total pascatragedi 1975. [islamaktual/rol]