Salah satu karakter dasar Islam adalah selalu berada di posisi “membela kaum dhu’afa”. Sejarah mencatat jika awal diutusnya Rasulullah SAW ke Mekkah, salah satunya bertujuan membela mereka yang tertindas secara sosial.
Ketika itu rasisme menjadi “trademark” Arab. Ada ras-ras tertentu yang melihat diri “superior” sementara yang lain menerima kenyataan “inferioritas” sebagai bagian dari kehidupan. Yang kaya memperbudak yang miskin. Pria menguasai wanita sebagai hak milik laiknya properti lainnya.
Keadaan komunal seperti itulah yang menjadikan Rasulullah SAW resah dan mengharuskannya menyingkir dari kehidupan ril Mekah. Beliau kerap kali naik ke atas puncak “gunung cahaya” (Jabal Nuur) melakukan perenungan (takhannuts). Dalam perenungan itulah Allah menurunkan wahyu pertaman kepadanya sebagai inaugurasi pengangkatan beliau sebagai RasulNya.
Sifat pembelaan kaum dhu’afa ini jugalah yang menjadi salah satu karakter dasar Rasulullah SAW. Beliau dikenal dalam Al-qur’an sebagai “rauufun rahiim” (lembut dan penyayang). Bahkan beliau sendiri menegaskan “siapa yang tidak memiliki rasa “kasih sayang” (rahmah) maka Allah tidak akan menyayanginya”.
Sifat kasih sayang Rasulullah SAW ini teraktualkan dalam karakter beliau yang selalu membangun “solidaritas” kepada kaum dhu’afa. Bahkan tidak tanggung-tanggung beliau memilih jalan hidup sederhana atau dalam bahasa materinya “miskin” karena ingin memberikan dukungan moral kepada mereka yang secara sosial termarjinalkan.
Yang lebih mengejutkan adalah doa beliau: “ya Allah masukkanlah saya ke dalam golongan hamba-hambaMu yang miskin (zumratul masaakin)”. Doa yang tentunya ditujukan untuk memperlihatkan dukungan moral kepada kaum dhu’afa.
Pada kesempatan lain beliau menggambarkan bahwa orang-orang miskin akan masuk ke dalam syurga jauh sebelum mereka yang kaya masuk ke dalamnya.
Solidaritas kepada kaum yang lemah dan terlemahkan inilah seharusnya dipanuti oleh mereka yang berada di posisi kekuasaan. Rasulullah bukan tidak mampu kaya. Beliau sangat mampu. Bukan hanya karena doa beliau tidak tertolak jika meminta. Tapi beliau juga memang punya keahlian berbisnis, bahkan jauh sebelum diangkat menjadi Rasul.
Tapi posisi beliau sebagai pemimpin menjadikan beliau memilih hidup sederhana. Sebagai pemimpin beliau punya rasa “sensitifitas” yang tajam sehingga mampu merasakan perasaan masyarakat sekitarnya. Beliau tidak memilih kaya karena alamiahnya banyak yang mau berdiri bersama dengan orang kaya. Mungkin bahasa kasarnya: “banyak yang mau menjilat pantat orang kaya”. Tapi hampir dipastikan tidak akan ada yan ingin bersama-sama mereka yang termarjinalkan.
Maka penguasa yang baik adalah penguasa yang memiliki sensitifitas yang tinggi. Merasakan apa yang dirasakan oleh rakyatnya. Apalagi di saat rakyat sedang bergeliat dengan krisis ekonomi dan kemiskinan.
Melihat gaya hidup pejabat di negara-negara Muslim, terkasuk Indonesia, cukup mengusik. Konon kabarnya jam tangannya saja mencapai harga 2 milyaran Rupiah. Bukan tidak boleh karena boleh jadi mereka memang kaya. Tapi mereka bukan lagi pribadi mereka. Mereka adalah cerminan kehidupan rakyatnya. Sehingga selama menjabat diperlukan sensitifitas untuk terbangunnya rasa soliaritas itu.
Biaya perjalanan pejabat yang sangat mahal misalnya sama sekali tidak mencerminkan sensitifitas itu. Kita kadang memang akui kalau itu benar anggarannya. Tapi melihat kepaa kenyataan masyarakat yang hidup susah, kehilangan kerjaan, tutup bisnis, dan seterusnya, pantaskah biaya perjalanan itu dihamburkan?
Sikap sensifitas juga tidak hanya dalam hal ekonomi. Tapi dalam segala lini kehidupan manusia. Termasuk dalam pergaulan internasional, penguasa yang sadar Islam, tidak selalu membangun hubungan internasionalnya di atas pertimbangan materi keduniaan. Tapi juga spiritual ukhrawinya.
Contoh terdekat di negeri tercinta adalah penerimaan seorang pemimpin diktator, anti demokrasi, pembunuh rakyat, Al-Sisi. Apapun kepentingan nasional yang akan dicapai dengan kehadiran Al-Sisi di Indonesia tidak akan membayar kejahatan kemanusiaan yang telah dilakukannya di negaranya sendiri.
Dan Indonesia sebagai negara Muslim terbesar, demokrasi ketiga, menghargai HAM dan pluralitas bangsa, harus mampu menunjukkan penolakannya terhadap prilaku jahat Al-Sisi itu. Saya tidak lagi pada posisi mengataka jangan diterima karena sudah selesai. Tapi Indonesia tetap dituntut untuk berada di garda terdepan untuk menolak kejahatan kemansiaan. Karena memang demikian amanat Pancasila dengan kemanusiaan yang adil dan beradab serta UUD 45 yang menjunjung tinggi prikemanusiaan.
Tapi itu hanya mungkin jika pemimpin negeri ini sensitif dan mampu membangun solidaritas dengan mereka yang terzholimi. Dan ini pula salah satu sunnah Rasul yang terlupakan (the forgotten sunnah) khususnya mereka yang berada di posisi kepemimpinan nasional. [islamaktual/imamshamsiali]