oleh : Prof. Drs. Sa’ad Abdul Wahid
Di atas telah dijelaskan bahwa al-Qur’an telah ditulis seluruhnya pada masa Rasulullah saw, hanya saja ayat-ayat dan surat-suratnya masih terpisah-pisah, karena penulisannya masih sangat sederhana, yaitu ditulis di atas tulang-tulang, pelepah kurma, kulit binatang dan kepingan batu.
Abu ‘Abd Allah al-Muhasibi dalam kitabnya, Fahmus-Sunan, mengatakan bahwa penulisan al-Qur’an bukanlah barang baru, sebab Nabi Muhammad saw dahulu sudah memerintahkan kepada para penulisnya supaya menulis wahyu yang diturunkan kepadanya. (Subhiy as-Salih, 1972:74).
Sebelum wafat, Rasulullah saw telah mencocokkan al-Qur’an yang diturunkan kepada beliau dengan al-Qur’an yang dihafal oleh para huffaz, surat demi surat, ayat demi ayat. Maka al-Qur’an yang dihafal oleh para huffaz itu merupakan duplikat al-Qur’an yang dihafal Rasulullah.
Al-Qur’an yang ditulis pada kulit binatang dan alat tulis lainnya harus cocok dengan al-Qur’an yang dihafal, agar Kitab Allah yang mulia itu lahir dari al-Qur’an yang ditulis dan dihafal, sehingga semua manusia dapat mengambil manfaat dari kitab suci itu sepanjang zaman. Kulit binatang dan alat tulis lainnya yang sangat sederhana itu tidak mampu menjaga al-Qur’an, sebab alat tulis itu kemudian menjadi fana, sedang orang-orang yang menukil dari mereka tidak mempunyai catatan lengkap pada waktu itu. (Ibrahim al-Ibyariy, 1965:86).
Maka, Allah membangkitkan kaum Muslimin untuk menjaga al-Qur’an dari kefanaan. Disalinlah al-Qur’an itu dari satu ke tempat lainnya, atas perintah Abu Bakar, dan dihimpun menjadi satu.
Penyalinan itu dilakukan dengan sangat cermat, disesuaikan dengan penulisan yang disimpan di rumah Rasul yang masih berserakan. Kemudian, dihimpunnya dan diikat dengan benang, sehingga tidak ada satu pun yang hilang.
Penghimpunan al-Qur’an oleh Abu Bakar, dilakukan sesudah peristiwa perang antara kaum Muslimin dan kaum murtadin, pengikut Musailimah al-Kazzab di Yamamah, pada tahun 12 H. Dalam peristiwa itu tujuh puluh huffaz al-Qur’an terbunuh. Hal itulah yang menimbulkan kekhawatiran pada diri Umar ibn Khattab, dan mendorongnya untuk mengusulkan kepada Abu Bakar agar menghimpun al-Qur’an menjadi satu naskah.
Diriwayatkan oleh al-Bukhariy dalam kitab Sahihnya bahwa Zaid bin Tsabit berkata: saya diberitahu oleh Abu Bakar tentang korban perang Yamamah. Ketika aku menghadapnya, ‘Umar sudah berada di tempat Abu Bakar, beliau berkata: Hai Zaid, ‘Umar datang kepadaku menyampaikan berita tentang perang Yamamah yang sangat dahsyat dan mengorbankan banyak qari’ al-Qur’an, sehingga dia khawatir peperangan itu akan memusnahkan para qari’ yang berada di daerah-daerah, yang berarti pula menghilangkan sebagian besar al-Qur’an. ‘Umar mengusulkan agar aku mengeluarkan perintah untuk menghimpun al-Qur’an. Selanjutnya Abu Bakar berkata: Bagaimana saya harus melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah saw? Lalu ‘Umar berkata: Demi Allah, ini adalah suatu pekerjaan yang baik. ‘Umar berulang kali mendesak saya agar menghimpun al-Qur’an hingga akhirnya Allah membuka hati saya dan menyatukan pendapat dengan saudara ‘Umar dalam upaya menghimpun al-Qur’an itu. Selanjutnya Zaid menjelaskan; Lalu Abu Bakar berkata: kamu adalah seorang pemuda yang berakal cemerlang, saya tidak menyangsikan pekerjaanmu, lagipula kamu pernah menjadi penulis wahyu pada masa Rasulullah saw. Maka telitilah al-Qur’an itu lalu himpunlah menjadi satu naskah. Zaid berkata: Demi Allah seandainya mereka menugasi saya memindahkan sebuah gunung, tugas itu bagi saya tidaklah lebih berat daripada diberi tugas untuk menghimpun al-Qur’an. Zaid berkata: mengapa engkau melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasul Allah saw? Abu Bakar menjawab: Demi Allah, itu adalah pekerjaan yang mulia. Seterusnya Zaid berkata: Abu Bakar berulang kali memerintahkan agar saya menghimpun al-Qur’an hingga terbukalah hati saya sebagaimana terbukanya hati Abu Bakar dan ‘Umar. kemudian mulailah saya meneliti dan mengumpulkan al-Qur’an yang ditulis di atas kepingan-kepingan pelepah kurma, batu tipis dan alat tulis lainnya, dan juga yang dihafal oleh para sahabat, sehingga berhasil menemukan ayat terakhir dari surat at-Taubah yang tidak saya temukan pada seorang pun selain Abu Khuzaimah al-Ansari, yaitu:
“Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari bangsamu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang Mukmin. Jika mereka berpaling (dari keimanan) maka katakanlah: Cukuplah Allah bagiku, tidak ada Tuhan selain Dia, hanya kepada-Nya aku bertawakal dan Dia adalah Allah yang memiliki Arsy yang Agung” (QS. at-Taubah [9]:128-129)
Suhuf-suhuf yang telah saya himpun itu disimpan oleh Abu Bakar hingga wafatnya, kemudian disimpan oleh ‘Umar, dan selanjutnya disimpan oleh Hafsah. (al-Bukhariy, III:145).
Dimaksudkan dengan pernyataan Zaid: Ayat terakhir dari surat at-Taubah itu tidak ditemukan selain pada Khuzaimah, ialah: ayat itu tidak ditulis oleh seorang pun, kecuali oleh Khuzaimah. Sebab sebagian besar sahabat, hafal al-Qur’an termasuk Zaid bin Tsabit. Dia sengaja meneliti dan mengumpulkan al-Qur’an yang ditulis, dengan tujuan untuk membantu dan menguatkan hafalan, karena Abu Bakar telah menekankan agar penerimaan ayat itu harus dikuatkan dengan dua syahid (pendukung), hafalan dan tulisan. Sistem penerimaan ayat itu diperlakukan terhadap semua ayat al-Qur’an. Pengumpulan al-Qur’an itu dapat diselesaikan dengan sempurna dalam waktu kurang lebih satu tahun, antara peristiwa perang Yamamah dan waktu wafatnya Abu Bakar.
Menurut suatu riwayat, Aliy bin Abi Thalib pernah berkata: Semoga Allah memberikan rahmat kepada Abu Bakar, dialah orang yang pertama kali mengumpulkan al-Qur’an antara dua sampul. (az-Zarkasyiy, 1960:239).
Abu Bakar telah tercatat dalam sejarah sebagai orang yang pertama kali menghimpun al-Qur’an, ‘Umar bin Khattab sebagai orang yang mempunyai inisiatif untuk menghimpun al-Qur’an dan Zaid bin Tsabit tercatat sebagai pelaksananya.
Di atas telah dijelaskan dalam Hadits yang ditakhrijkan oleh al-Bukhariy bahwa setelah selesai pengumpulan al-Qur’an dalam satu suhuf (himpunan lembaran-lembaran), maka disimpanlah suhuf itu oleh Abu Bakar hingga wafatnya, selanjutnya disimpan oleh ‘Umar bin Khatthab, hingga wafatnya, dan akhirnya disimpan oleh Hafsah binti ‘Umar. Hal inilah yang sering dipertanyakan, mengapa suhuf itu tidak diserahkan kepada Utsman bin Affan? Apakah dia tidak lebih berhak menyimpannya?
Subhiy as-Salih dalam kitabnya, Mabahis, mengatakan bahwa Hafsah-lah yang lebih utama dan lebih berhak menyimpannya, sebab ‘Umar telah berwasiat agar suhuf itu diserahkan kepada Hafsah. Ia adalah istri Rasul, Umm al-Mu’minin juga hafal al-Qur’an sepenuhnya dan menguasai baca tulis. ‘Umar pun telah menetapkan bahwa masalah khilafah sesudah beliau harus ditetapkan berdasarkan musyawarah. Maka bagaimana mungkin menyerahkannya kepada Utsman, padahal beliau belum ditetapkan sebagai khalifah.
Penamaan al-Qur’an dengan mushaf itu, muncul pada masa Abu Bakar. Ibnu Asytah meriwayatkan dalam kitabnya, al-Masahif, dari Musa bin Uqbah dari Ibnu Syihab, dia berkata: Setelah al-Qur’an itu selesai dihimpun menjadi satu himpunan yang teratur, berkatalah Abu Bakar: carilah nama untuk al-Qur’an itu! Lalu sebagian sahabat mengusulkan agar diberi nama “as-Sifir”, kemudian berkatalah Abu Bakar: nama itu ciptaan orang Yahudi.
Mereka pun tidak menyukai nama tersebut, lalu sebagian sahabat mengusulkan agar diberi nama “al-Mushaf”. Akhirnya para sahabat bersepakat memberikan nama “al-Mushaf”. (Subhiy as-Salih, 1972:78).
Demikianlah penulisan al-Qur’an pada masa Abu Bakar, mereka telah mencurahkan segala perhatian, tenaga dan hartanya, untuk menyelesaikan tugas yang suci dan berat itu, mereka hanya mengharapkan keridlaan dari Allah SwT. [islamaktual/sm]