Mengaji

Kata mengaji dan pengajian murni bahasa Indonesia, yang berasal dari kata dasar “kaji”. Demikian juga kata mengkaji dan pengkajian berasal dari kata dasar yang sama, “kaji”. Dengan demikian kata-kata mengaji dan pengajian maupun mengkaji dan pengkajian sepenuhnya profan (biasa,sekuler), tidak sakral (suci, istilah agama). Namun dalam perkembangan berikutnya sering dibelah menjadi berbeda, kata mengaji dan pengajian seolah menjadi sakral, sedangkan mengkaji dan pengkajian menjadi sekuler, padahal keduanya berasal dari kata “kaji” yang tidak ada konotasi kategorisasi yang sakral dan profan. Bahkan tradisi mengaji ala Pesantren sebenarnya ada unsur pengaruh tradisi “mengaji” di masa kebudayaan Hindu, sebagaimana pungutan istilah santri dan pesantren.

Kata “kaji” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti dua yakni (1) pelajaran (agama dan lain-lain) dan (2) penyelidikan (tentang sesuatu). Dalam peribahasa dikatakan: lancar kaji karena diulang, pasar jalan karena diturut, artinya kepandaian atau kemahiran didapat karena rajin berlatih. Sedangkan kata “mengaji” artinya (1) mendaras (membaca) al-Qur’an, (2) belajar membaca tulisan Arab, serta (3) belajar atau mempelajari. Sementara “mengkaji” artinya (1) belajar, mempelajari; dan (2) memeriksa, menyelidiki, memikirkan (mempertimbangkan dsb), menguji, menelaah. Adapun kata “pengajian” artinya (1) pengajaran (agama Islam) dan (2) pembacaan al-Qur’an. Sedangkan kata “pengkajian” artinya proses, cara, perbuatan mengkaji, penyelidikan, dan penelaahan.

Jika kata mengaji dan pengajian sebagaimana akar bahasa “kaji” dan dalam pengertian di atas, maka mengaji maupun pengajian dapat berarti khusus yakni membaca atau menderas al-Qur’an, tetapi juga dapat berarti umum yakni mempelajari sesuatu atau pelajaran tentang sesuatu termasuk pelajaran agama, pelajaran ilmu alam, pelajaran ilmu fisika, dan sebagainya. Namun dalam perkembangan kehidupan umat Islam maupun masyarakat Indonesia kata mengaji dan pengajian kemudian menjadi tradisi khusus yakni menderas al-Qur’an dan mempelajari agama Islam.

Bahasa ketika telah menjadi suatu artikulasi kegiatan tidak sekadar arti kata-kata secara harfiah atau apa adanya. Bahasa juga melekat dengan konteks ketika kegiatan itu dimaksudkan dan dilakukan. Kata pengajian dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah tangga Muhammadiyah misalnya, dimaksudkan bukan hanya kegiatan menderas al-Qur’an tetapi mengaji atau mengkaji agama dalam berbagai aspeknya. Pengajian Malam Jumat dan Malam Selasa yang dirintis oleh Kiai Haji Ahmad Dahlan sejak awal gerakan Muhammadiyah berdiri, selain mengkaji agama Islam secara khusus (dirasat al-Islamiyyah), tetapi juga mempelajari berbagai hal tentang kehidupan atau seluk beluk sesuatu ditinjau dari pandangan Islam. Dalam pengajian Malam Jumat sejak 1917 bahkan diperuntukkan bagi umum dan sering terjadi perdebatan yang luar biasa, sehingga seperti seminar atau kajian publik.

Demikian juga Pengajian Ramadhan yang setiap tahun dilaksanakan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Pengajian Ramadhan tersebut dirintis pertama kali tahun 1986 pasca Muktamar tahun 1985 di Surakarta yang monumental. Kendati digunakan kata “pengajian” niat, maksud, dan tujuan sejak awal bukan mengaji dalam arti khusus seperti menderas al-Qur’an untuk dibacakan secara lisan, tetapi mengaji atau mengkaji berbagai hal dari sudut pandang Islam dan Muhammadiyah. Pengajian Ramadhan tersebut sejak awal diniatkan, dimaksudkan, dan ditujukan dalam makna dan konteks mengaji atau mengkaji secara umum itu baik sejak era Kiai Haji AR Fakhruddin, Kiai Haji Ahmad Azhar Basyir maupun era Prof. Dr. HM Amien Rais, Prof. Dr. Ahmad Syafii Ma’arif, dan Prof. Dr. HM Din Syamsuddin.

Bahwa di dalam membahas segala sesuatu di pengajian Ramadhan itu mendasarkan secara langsung atau tidak langsung terhadap al-Qur’an dan As-Sunnah atau secara umum menggunakan pandangan Islam sudah barang tentu, karena Muhammadiyah adalah Gerakan Islam. Demikian juga ketika mengaji atau pengajian dimaksudkan menderas dan menelaah al-Qur’an maka bukan sekadar harfiah, tetapi juga makna dan tafsirnya yang luas seluas kandungan al-Qur’an. Al-Qur’an itu kandungan isinya melampaui luasnya samudera, bukan hanya ayat-ayat ibadah dalam arti khusus tetapi juga ibadah dalam makna umum, akidah yang multi-aspek, akhlak dalam berbagai dimensi, mu’amalat-duniawiyah dalam multidimensi, dan ayat-ayat kauniyah yang terbentang seluas ciptaan Allah SwT. Pemaknaan ayat al-Qur’an pun tidak cukup memadai dengan arti harfiah semata, harus dipahami asbab al-nuzul serta konteks dan makna yang terkait dengannya. Al-Qur’an selain dibaca, tidak kalah pentingnya diamalkan secara konsisten, sehingga kata sejalan dengan tindakan.

Demikian pula ketika mengaji dan pengajian dikaitkan dengan mengaji dan mengkaji agama Islam, maka dalam pandangan Muhammadiyah makna serta kandungan ajaran Islam itu multiperspektif menyangkut aqidah, ibadah, akhlak, dan mu’amalat-duniawiyah dalam berbagai hal yang mendalam dan luas cakupannya. Membahas ibadah pun bisa khusus tetapi juga bisa umum, bahkan ibadah khusus pun seperti shalat bukanlah sekadar harfiah dan formalitas tetapi kekhusyukan dn fungsinya dalam kehidupan. Akidah pun bukan sekadar habl min Allah, tetapi juga habl min al-nas. Akhlak mengandung dimensi akhlak kepada Allah, kepada sesama, kepada lingkungan, dan sebagainya.

Apalagi mu’amalat-duniawiyah dan semuanya itu kandungan ajaran atau agama Islam. Jika mengaji al-Qur’an dan agama Islam dipahami dan diamalkan secara luas dan mendalam, maka Islam akan melahirkan peradaban alternatif (al-tsaqafah al-badilah) di muka bumi ini. [islamaktual/sm/a.nuha]

Leave a Comment