Baghdad 1258, salah satu pusat ilmu pengetahuan saat itu hancur luluh oleh Mongolia, imperium nomaden yang saat ini hanyalah negara kecil. Kehancuran masif era Abbasiyah yang secara tragis nampak dari air sungainya menghitam lantaran tinta buku. Baitul Hikmah yang menyimpan banyak hasil penelitian pada akhirnya runtuh.
Memori tragis 1258 membawa kita kembali pada kegemilangan intelektualisme umat Islam. Faktanya, walau sempat hancur, pengembangan ilmu dan pembiasaan belajar, terutama di masjid, masih terus berkembang pada dekade setelahnya. Walaupun saat ini, posisi masjid kembali sempit menjadi hanya tempat ibadah. Hampir dua abad lamanya, jauh sebelum Abbasiyah runtuh, berdiri satu madrasah yang dinamakan Madrasah Nizhamiyah. Institusi pendidikan ini kemudian dianggap sebagai salah satu universitas paling tua di dunia. Pada dasarnya nama madrasah sebagai tempat pencarian ilmu sudah lama dikenal jauh sebelum Nizhamiyah. Namun, sistem madrasah sebelum ini diketahui dengan cara berkumpul dalam satu majelis. Pada budaya Indonesia, terutama jawa, kita mengenal dengan istilah sorogan. Hanya saja, secara institusi kelembagaan, Madrasah Nizhamiyah masuk menjadi salah satu sistem yang kala itu mungkin termasuk modern.
Madrasah Nizhamiyah didirikan oleh seorang perdana menteri yang bernama Nizamul Muluk Qawamuddin al-Hasan bin Ali al-Tusi pada 1067 atau pada pertengahan abad ke-5 H. Ada yang mengatakan bahwa dialah yang pertama kali membangun Madrasah yang tersistemisasi layaknya universitas. Seorang Saljuk yang memiliki hasrat tinggi dalam hal pendidikan, menghargai dan menghormati para ulama. Namun di sisi lain, Imam Dzahabi menyanggah anggapan ini. Jauh sebelum Nizamul Muluk lahir, telah ada bangunan madrasah seperti Madrasah Al-Baihaqiyah, dan Al-Sa’idiyah di Naisabur. Terlepas dari itu semua, sejarah menyebutkan bahwa Madrasah Nizhamiyah sebagai institusi pendidikan telah memainkan peran intelektualisme yang besar. Beberapa ulama besar yang ditunjuk sang wazir untuk mengajar misalnya adalah Al-Ghozali, Al-Juwaini, dan Abu Ishaq al-Sirazi. Dari sapuan ilmu merekalah universitas ini menjadi sisi lain dari benteng pertahanan, yaitu pendidikan.
Pembangunan Madrasah Nizhamiyah memakan waktu sekitar dua tahun, diawali pada 457 dan dibuka pada 459 H. Nizamul Muluk begitu memperhatikan aspek pendidikan melalui madrasah ini dengan melengkapi seluruh fasilitas yang ada. Fasilitas yang diberikan ditujukan untuk mendukung kegiatan pendidikan para siswa, seperti asrama, aula, perpustakaan, dan lain sebagainya. Tidak hanya itu, institusi pendidikan ini sama sekali tidak memungut biaya dari para siswanya, bahkan mereka diberikan beasiswa tiap bulannya. Semua aktifitas pembelajaran ditanggung utuh oleh pemerintahan setempat dengan mengembangkan potensi wakaf. Hasil dari perolehan wakaf ini mampu mencukupi segala kebutuhan terutama memberikan insentif kepada para pengajarnya. Seperti yang diketahui, para ilmuwan, para fakih, alim ulama begitu dihormati kedudukannya dan dicukupi kebutuhan mereka dari karya yang mereka hasilkan. Oleh karenanya, perkembangan ilmu Islam, terutama pada era didirikannya madrasah ini begitu signifikan.
Seperti halnya lembaga pendidikan, Madrasah Nizhamiyah memiliki kurikulum yang sudah disusun dan terstruktur. Meskipun belum ditemukan secara rinci materi apa saja yang diajarkan, namun yang pasti materi pokok syariah diajarkan di sini. Kurikulum yang ditanamkan seperti materi al-Qur’an dan Hadits, Ushul Fikih, Fikih, Ilmu Kalam, Bahasa dan Sastra Arab, dan lain sebagainya. Hal ini cukup dimengerti karena beberapa tokoh besar yang mengajar adalah seperti Imam Ghozali, Imam Juwaini, dan Abu Ishaq al-Syirazi. Semua ulama ini dikenal dakik pada persoalan materi pokok yang disebutkan tadi. Selain itu, karena kecenderungan pendiri dan pengajarnya adalah bermadzhab Syafi’i, maka Madrasah Nizhamiyah bisa dikatakan adalah universitas yang berhaluan syafi’iyah.
Kecenderungan haluan madrasah ini dengan syafi’iyah dan sunni menunjukkan proyek lain dari sekedar membangun institusi. Kuatnya pengaruh Syiah pada bekas dinasti Buwaihiyah dan Fatimiyah menjadi latar belakang lain lembaga ini didirikan. Sang wazir mengerti betul bahwa mendakwahkan suatu pengaruh tidak bisa ‘hanya’ diselesaikan dengan senjata. Maka, pemikirannya mengarahkan untuk mendakwahkan pemahaman kebenaran dan menepis penyimpangan melalui pendidikan. Dari satu sisi inilah Madrasah Nizhamiyah lahir. Tidak hanya di Baghdad, melainkan dibeberapa wilayah lain seperti Nisabur, Isfahan, Mosul, dan lain sebagainya. Akan tetapi, dari sekian wilayah tersebut, Nizhamiyah Baghdad-lah yang begitu masyhur di seluruh negeri. Kecenderungan lain yang bisa dibaca adalah kembali kepada tujuan dakwah yang tersistemisasi dengan baik. Hanya saja, hal itu tidak akan mudah tanpa dukungan penuh pemerintah. Ini dilihat dari corak dukungan pemerintah terhadap penyebaran ilmu, dimana pada masa Nabi saw dan sahabat masih menganggap penting pengiriman dai dan pengajar ke beberapa wilayah. Pasca era sahabat, penyebaran ilmu nampak dilakukan lebih banyak dari tangan para ulam sendiri. Usaha yang ‘belum’ mendapatkan perhatian penguasa, karena mereka sama sekali tidak digaji. Maka, Nizamul Muluk, sang wazir menginisiasi sistematisasi institusi pendidikan dengan dukungan penuh pemerintah. Sehingga ada yang bahkan menuliskan, setiap ada tokoh ulama di suatu wilayah maka tidak lama kemudian akan berdiri satu lembaga pendidikan dengan sang ulama tersebut sebagai pengelola. Hal ini dalam rangka upaya memajukan sistem pendidikan dan tentu saja penyebaran ilmu secara lebih masif. Lebih daripada itu adalah bentuk penghargaan pemerintah kepada ulama dan para pencari ilmu.
Selama kurang lebih empat abad lamanya Madrasah Nizhamiyah bertahan. Selama itulah proses pendidikan menjadi corong perpindahan dan penyebaran ilmu ke seluruh penjuru. Kehendak dan kemauan pemerintah dalam mendukung pendidikan sangat nyata dirasakan. Banyak alumnus-alumnus madrasah ini yang akhirnya menjadi tokoh penting penyebar ilmu. beberapa sumber menyebutkan bahwa yang terakhir menjadi mahasiswa di tempat ini adalah Fairuzabadi, salah satu ulama yang bergelut dalam bidang bahasa dan sastra. Berdirinya institusi pendidikan ini menjadi satu contoh iktibar penting dalam membangun iklim masyarakat yang berpendidikan. Rencana sang perdana menteri untuk melawan penyimpangan ajaran Islam dengan pendidikan patutlah diapresiasi. Seperti itu pulalah yang juga telah dicontoh oleh beberapa pendiri negeri ini. Benteng pertahanan tidak selamanya dibingkai dengan senjata. Ia akan lebih mengakar jika dituangkan lewat pena. [islamaktual/almanar/fauzanmuhammadi]