Kata hikmah seringkali diterjemahkan dalam pengertian bijaksana. Adapun dakwah bil hikmah yaitu suatu pendekatan sedemikian rupa sehingga pihak objek dakwah mampu melaksanakan apa yang didakwahkan atas kemauannya sendiri tanpa merasa terpaksa. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa hikmah mengajak manusia menuju jalan Allah SwT tidak terbatas pada perkataan lembut, kesabaran, ramah tamah, dan lapang dada, tetapi juga tidak melakukan sesuatu melebihi ukurannya. Dengan kata lain, harus menempatkan sesuatu pada tempatnya.
Dakwah bil hikmah yakni menyampaikan dakwah dengan cara yang arif bijaksana. Artinya, dakwah dilakukan atas dasar persuasif serta dengan keteladanan, dakwah yang menggunakan perkataan yang benar, dan pasti yaitu dalil yang menjelaskan kebenaran. Metode bil hikmah adalah suatu cara yang digunakan dalam upaya membawa orang lain kepada ajaran Islam dengan menggunakan argumentasi yang pasti, bahasa yang menyentuh hati dengan pendekatan ilmu dan akal. Begitu banyak ayat al-Qur’an yang membahas dakwah bil hikmah. Satu di antaranya yaitu: “Serulah (manusia) kepada ajaran Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (QS. an-Nahl [16]:125).
Adapun ‘hikmah’ terbagi kepada dua macam yaitu teoritis dan praktis. Pertama, teoritis yaitu mengamati inti suatu perkara dan mengetahui adanya hubungan sebab akibatnya secara moral, perintah, takdir, dan ketentuan. Hikmah teoritis ini merujuk kepada ilmu pengetahuan. Sedangkan hikmah praktis merujuk kepada perbuatan yang adil dan perbuatan yang benar. Allah SwT telah memberikan dua jenis hikmah ini kepada para Nabi dan Rasul-Nya dan kepada hamba-hamba yang shaleh yang dikehendaki-Nya. Sebagaimana firman Allah SwT, “Ya Tuhanku, berikanlah kepadaku hikmah dan masukkanlah aku ke dalam golongan orang-orang yang saleh” (QS. asy-Syu’ara’ [26]:83).
Kedua, praktis; yaitu memiliki sesuatu pada tempatnya. Hikmah ini terbagi kepada tiga macam yakni; pertama, memiliki mata hati yang antara lain meliputi kekuatan persepsi, intelegensi, ilmu dan kearifan; kedua, mengetahui keadilan ancaman Allah SwT, kepastian janji-janji-Nya serta keadilan hukum-hukum yang bersifat ketentuan dan hukum yang berlaku kepada seluruh makhluk-Nya; dan ketiga, memberi hak kepada sesuatu dalam arti tidak melampaui batas, buru-buru dan menunda waktu. Hikmah sangat memperhatikan ketiga petunjuk tersebut dengan cara memberikan hak kepada setiap perkara, yakni hak dari Allah SwT dengan ketentuan dan takdir-Nya. Jika melampaui batas, menunda-nunda batas waktu berarti menyalahi dan melanggar hikmah.
Adapun tujuan beragama adalah menjadikan manusia berakhlakul karimah sebagaimana yang ditegaskan oleh Rasulullah saw, “Sesungguhnya aku diutus (Allah) untuk menyempurnakan akhlak” (HR. Ahmad).
Berikut adalah beberapa pesan dari Umar ibn Khatthab r.a, “Orang yang tidak memiliki tiga perkara berikut, berarti imannya belum bermanfaat. Tiga perkara tersebut adalah santun ketika mengingatkan orang lain, wara yang menjauhkannya dari hal-hal yang haram, dan berakhlak mulia dalam bermasyarakat (bergaul)”.
Seorang pendakwah tentunya bisa menjadikan dirinya sebagai teladan bagi orang yang diserunya, sehingga dakwahnya akan didengar dan ditaati. Kemudian, menyampaikan kebenaran dakwahnya dengan cara yang bijaksana sehingga orang yang diserunya tersentuh hatinya dan termotivasi untuk memperbaiki diri. [islamaktual/tabligh]