Bertemu Cahaya Ilahi Dalam Mimpi

Ada rasa takut menyelinap saat bermimpi melihat cahaya yang begitu menyilaukan. Tak hanya itu, tiba-tiba juga kudengar suara, “Tahukah kamu siapa Aku?”. Cahaya itu berlafadz Allah. Ya itulah yang kuucapkan dalam mimpiku. Seketika aku terbangun, tersadar dengan perasaan takut yang masih menggelayut.
Cahaya dalam mimpiku begitu menyilaukan. Bibirku bergetar seraya menyebut asma Allah ketika melihatnya. Dari mimpi itulah aku mengenal Allah, Tuhan yang kuimani saat ini.
Sejak mengalami mimpi itu, rasa penasaran kian berkecamuk dalam benakku. Melalui hari-hari aku makin penasaran dengan apa yang sebetulnya kualami. Mengapa sebelumnya beberapa kali aku juga sering bermimpi melakukan shalat? Dalam salah satu mimpiku, aku terlihat shalat bersama temanku bernama Masduki. Aku tanya kejadian mimpiku itu padanya. Ia lalu mengajakku ke Jember untuk menemui guru ngajinya.
Sesampainya di sana aku diberi wawasan mengenai Islam oleh seorang ustadz. Pemahaman tentang Islam yang baru kudapatkan, menjawab rasa penasaranku terkait mimpi yang kualami. Sekaligus memberikan ketenangan batin dan keinginan untuk belajar tentang Islam lebih dalam. Islam telah memberikan sentuhan positif padaku.
Langkah ini berlanjut pada keinginanku belajar shalat. Aku mencari buku tuntunan shalat di toko buku, lalu aku mempraktekkan gerakan shalat dengan bacaannya sambil melihat buku. Belajar shalat secara otodidak, sulit memang. Sampai memakan waktu 6 bulan belum juga lancar.
Pada akhirnya, aku yakin dan mantap memilih Islam sebagai jalan hidupku. Aku kembali ke tempat guru spiritual temanku untuk berikrar. Setelah mendapat bimbingan, aku mengucapkan kalimat syahadat di Pondok Pesantren Al-Amin Jember. Setelah resmi menjadi muallaf, namaku berganti menjadi Yunus.
Aku lahir dan dibesarkan dalam keluarga penganut Katolik. Keluargaku jelas menentang keputusanku masuk Islam. Keluargaku sempat tidak mengakui aku sebagai anggota keluarga. Ketika ada acara keluarga, mereka memperlakukanku seperti orang lain. Tidak dilibatkan dalam acara itu dan dibedakan dengan anggota keluarga yang lain. Ya, itulah yang kualami karena tidak lagi menganut keyakinan yang sama dengan mereka.
Sebagai anak aku selalu berusaha menghaturkan permohonan maaf kepada orangtua di saat lebaran. Meski selama bertahun-tahun hal ini kulakukan namun tidak mendapat respon positif dari kedua orangtua. Meski sebenarnya sedih dalam hati, tapi aku sangat sadar bahwa inilah resiko dari keputusan yang kupilih. Aku hanya bisa pasrah dan berdoa kepada Tuhanku yang Maha Berkuasa atas segala sesuatu, agar hati orangtua ku luluh dan merestui keputusanku menjadi seorang Muslim.
Alhamdulillah, doaku dikabulkan oleh Allah. Dua tahun terakhir, respon orangtua ku begitu menggembirakan ketika aku meminta maaf saat lebaran. Mereka memaafkanku, bahkan mendoakanku agar bisa pergi haji. Subhanallah, rasanya seperti tak berdaya karena haru mendapatkan restu sekaligus doa yang luar biasa dari orangtua ku.
Dengan mengikuti majlis taklim, aku belajar tentang ketauhidan. Sering mengikuti kajian yang membuat aku lebih dekat dengan Islam, membuatku merasakan ibadah lebih nikmat. Aku jadi tahu apa tujuan kita hidup dan kepada siapa kita kembali.

 

Di usiaku yang sudah menginjak 35 tahun, menjadi seorang suami dan ayah dari 3 orang anak, aku merasakan hidup yang bahagia. Aku sudah merasakan betapa indahnya kehidupan dengan memeluk Islam. Bukan materi berlimpah yang aku inginkan dalam kehidupan, namun ingin anak-anakku menjadi anak yang shalih dan shalihah. Aku ingin anak-anakku menjadi manusia yang benar-benar menegakkan ajaran Islam dalam hidupnya. [islamaktual/alfalah/stefanussudarmanto]

Leave a Comment