Penggunaan api dalam ritual peribadatan agama Zoroaster ternyata ada latar belakangnya. Agama Zoroaster tidak dapat dilepaskan begitu saja dari Nabi Ibrahim yang merupakan bapak para Nabi dan pemimpin semua bangsa. Sejumlah orang Majusi sering mengaitkan Zoroaster dengan Ibrahim. Mereka menyebutnya, Ibrahim Zaradust (Ibrahim Zerdascht yang artinya “Ibrahim teman api”). Para penyembah api berkeyakinan bahwa Nabi Ibrahim adalah pendiri agama Zoroaster. Istilah “Ibrahim teman api” tentu sangat berkaitan dengan mukjizat ayah Nabi Ismail ini yang tidak mempan dibakar api ketika dihukum oleh Raja Namrud. Itu adalah alasan pengikut Zoroaster menggunakan sarana api dalam beribadah, karena mereka ingin menghubungkannya dengan Nabi Ibrahim.
Pendapat lain menyatakan bahwa asal-usul penyembahan api kaum Zoroaster berawal dari perseteruan antara Qabil dan Habil, anak Adam AS. Perselisihan yang dilatarbelakangi perebutan Iklimah tersebut menjadikan Nabi Adam harus turun tangan menengahi keduanya. Nabi Adam pun menyuruh Habil dan Qabil untuk membuat seserahan untuk Allah SWT guna menguji keikhlasan kedua anaknya itu, apabila salah satu dari benda mereka diambil, maka dialah yang berhak menikah dengan Iklimah. Keduanya pun meletakkan seserahan di sebuah gunung. Habil menaruh seekor domba yang gemuk, sedangkan Qabil menyerahkan sekantung gandum yang sudah tidak layak. Beberapa waktu kemudian sebuah kilatan api menyambar domba Habil yang menandakan Allah SWT memilihnya sebagai pendamping Ikimah.Qabil pun tidak terima dan berujung pada pembunuhan terhadap saudara laki-lakinya itu. Iklimah pun dibawa pergi Qabil ke Aden, Yaman. Iblis ternyata masih menggoda Qabil dengan tipu muslihat bahwa domba Habil yang dilalap api beberapa waktu lalu mengisyaratkan bahwa zat pembakar tersebut adalah Tuhan sebenarnya karena telah memilih seserahan saudara kandungnya itu. Qabil yang mendengar bisikan tersebut langsung berpikiran bahwa api adalah Tuhan sehingga pembunuh pertama dalam sejarah manusia itu melakukan ritual penyembahan api yang diikuti oleh sejumlah pengikutnya. Fenomena inilah yang kemudian melahirkan agama Zoroaster hingga sekarang (lihat Khazanah dalam Trans7, Senin 4 Maret 2013).
Pada saat ditaklukkan oleh bangsa Arab di abad ke-7, sebagian besar penduduk Persia lambat laun memeluk agama Islam. Peristiwa penaklukan Persia ini terjadi pada zaman pemerintahan Umar Bin Khattab. Penaklukan ini dalam beberapa hal dengan kekerasan walaupun pada prinsipnya kaum Muslim mempunyai sikap toleran kepada agama lain. Faktor penyebab penaklukan tersebut antara lain menganggap bahwa Persia secara geografis merupakan ancaman terhadap kelangsungan agama Islam. Selain itu, keadaan tanah yang subur juga mendorong umat Islam untuk menguasai negara yang kini beribukota di Teheran tersebut (Karim, 2006 : 11). Sekitar abad ke-10, sebagian sisa penganut agama Zoroaster lari dari Iran ke Hormuz, sebuah pulau di Teluk Persia. Mereka beserta keturunannya kemudian pergi ke India untuk mendirikan semacam koloni. Orang Hindu menyebut mereka “Parsees” karena asal mereka dari Persia. Kini, ada sekitar 100.000 lebih kelompok Parsees di India. Mereka mayoritas tinggal di dekat kota Bombay, tempat mereka membentuk suatu kelompok kehidupan masyarakat yang makmur. Zoroastrianisme tidak pernah lenyap secara keseluruhan di Iran. Sekitar 20.000 penganut masih ada di negeri itu. Pendapat lain mengatakan bahwa dewasa ini pengikutnya ada sekitar 200.000 orang. Jumlah pemeluk agama Zoroaster di Iran kurang dari 2% (Blake et. al., 1987 : 19). Komunitas utamanya berada di Iran dan India. Pada saat ini, penganut Zoroaster lebih sedikit jumlahnya daripada kaum Mormon maupun Christian Scientists, tapi kedua ajaran itu tumbuhnya belum lama. Dilihat dari perjalanan sejarah jumlah keseluruhan pengikut Zoroaster jauh lebih besar. Eksistensi agama Zoroaster sebagai keyakinan minoritas masih diakui di Iran, bahkan mereka mempunyai 1 kursi di Majelis Iran (Ar-Rusydi, 2007 : 26). Penyembahan api tidak hanya dilakukan oleh masyarakat Iran atau India, tapi juga di Azerbaijan. Salah satu bukti bahwa penduduk negara yang berbatasan dengan Laut Kaspia di sisi timur itu menyembah api adalah keberadaan Kuil Api atau The Baku Ateshgah di Surakha yang sejak 1975 dijadikan pemerintah sebagai museum (Spotlite Trans7 4 Maret 2013). Keberadaan komunitas penyembah api ini tidak diketahuiapakah mereka termasuk Zoroaster atau bukan.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian dari konversi adalah perubahan dari sebuah sistem pengetahuan ke sistem yang lain (Sugono dkk, 2008 : 807). Konversi agama Zoroaster-Islam artinya adalah perubahan sistem atau doktrin keagamaan dengan hanya mengganti wadah dan sarana tanpa mengurangi esensi serta fungsinya. Agama Islam pada dasarnya adalah penyempurna ajaran keagamaan yang telah ada sebelumnya, jadi wajar saja apabila banyak doktrin yang mirip bahkan sama. Hal ini sesuai dengan al-Maidah ayat 3 yang artinya: “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridlai Islam itu jadi agama bagimu”.
Agama Zoroaster memandang manusia memiliki kedudukan yang tinggi. Manusia yang suci dan tanpa dosa. Hal ini tentu berbeda dengan keyakinan Kristen bahwa manusia adalah pendosa semenjak lahirnya. Zoroaster berkeyakinan bahwa manusia itu merdeka sehingga dia dengan kebebasannya dapat memilih jalan yang baik atau buruk. Fakta ini sesuai dengan sabda Nabi SAW: “Tiap bayi dilahirkan dalam keadan suci (fitrah-Islami). Ayah dan ibunya kelak yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi (penyembah api dan berhala)” (HR. Bukhari).
Ajaran Zoroaster sebagaimana ajaran agama lainnya meyakini bahwa ruh manusia tidak akan binasa seiring dengan datangnya kematian. Manusia dengan memerhatikan segala perbuatannya akan memasuki surga atau neraka. Kitab Gathas berisi ajaran-ajaran yang berbeda dengan ajaran-ajaran yang tertulis dalam Avesta. Salah satu rukun ajaran ini yang disebut sebagai agama lama Zoroaster atau pertama. Disebutkan bahwa manusia pasca kematian akan melintas Chinvat Peretum, sebuah jembatan yang tidak dapat dilalui oleh para pendosa, dan pada akhirnya orang-orang baik akan memasuki firdaus serta orang-orang buruk akan dilempar ke neraka. Ajaran ini jika dikonversikan dengan agama Islam sesuai dengan firman Allah dalam al-Fatihah ayat 6 yang artinya: “Tunjukilah kami jalan yang lurus”.
Para mufasir menyatakan bahwa al-shirath al-mustaqim adalah berupa jembatan penyeberangan bagi manusia untuk mengetahui kadar keimanan dan ketakwaannya semasa hidup di dunia. Orang itu akan selamat melewati jembatan bila amalannya baik hingga kemudian masuk surga. Dan dijebloskan ke neraka jika perbuatannya jelek sehingga gagal menyusuri sarana penyeberangan tersebut. Jembatan al-shirath al-mustaqim konon setipis rambut yang telah dipotong tujuh kali. [islamaktual/sm/shubhimahmashony]