Mungkin menarik menyimak sebuah teori yang ditulis oleh seorang sosiolog Amerika, Charles Wright Mills (1916-1962). Teori tersebut ditulisnya dalam The Power Elite (1956). Terdapat tiga komponen negara yang disebut sebagai elit negara (the power elite) yaitu penguasa (birokrat dan politisi/political bosses), pengusaha (corporation chieftains), dan tentara (military warlords) atau politik, ekonomi, dan militer. Bagaimana wajah negara sangat tergantung, bagaimana ketiganya memperlakukannya. Presiden adalah bagian dari penguasa terpenting di negeri ini. Dialah orang yang sering dikatakan sebagai orang nomor satu di negeri ini. Untuk menghasilkan seorang presiden, harus melalui proses yang super mahal dan mengerahkan energi yang sedemikian besar melalui pemilu sebagai bagian dari proses politik.
Politik boleh jadi kotor, kita membencinya tetapi tidak mungkin menghindarinya. Belum ada istilah lain untuk mengelola negara kecuali politik. Oleh karena itu, sekotor apapun politik posisinya sangat menentukan dan strategis menyangkut hajat hidup orang banyak. Wajar jika orang berbondong-bondong ingin masuk dalam gelanggang politik sebagai anggota legislatif maupun eksekutif dengan segala risikonya, karena ingin menjadi bagian dari the power elite.
Keputusan-keputusan penting negara sering dipengaruhi para pemimpin bisnis raksasa, pemimpin politik, dan pemimpin militer. Dalam lingkaran tiga kekuatan inilah terletak kekuatan penting sejarah. Ketiga kekuatan itu -bisnis, pemerintah, dan militer- selama abad kedua puluh tumbuh besar dan mendominasi kekuasaan suatu negara. Tiga serangkai ini membentuk badan yang saling berpautan dan mempunyai pengaruh besar dalam sejarah (Margaret M. Polona, 2000 : 339-340). Maka tidak usah heran dan juga bukan hal yang aneh jika wajah-wajah yang muncul dalam perebutan kursi presiden republik tercinta ini didominasi wajah-wajah para penguasa, pengusaha, dan jenderal tentara.
Begitu penting, strategis, dan sentralnya kedudukan seorang presiden atau pemimpin negara sampai Ibn Taimiyah menyatakan, mempunyai pemimpin yang dlalim sekalipun masih lebih baik daripada tidak memiliki pemimpin. Enam puluh malam dengan pemimpin yang dlalim masih lebih baik daripada semalam tanpa pemimpin. Bisa dibayangkan jika Indonesia semalam saja terjadi kekosongan kepemimpinan, maka mungkin akan chaos, perebutan kekuasaan. Maka tidak boleh sedetik pun negara berada dalam kekosongan kepemimpinan.
Bahkan menentang pemimpin negara dalam Islam dikategorikan sebagai bughat, pembangkang. Menurut Abdurrahman al-Maliki (1999:79) dalam bukunya, Nizham al ‘Uqubat, bughat (ahl al-baghi) adalah orang-orang yang memberontak terhadap Daulah Khilafah Islamiyah.
Dalam Hasyiyah Ibn Abidin, III/462, juga disebutkan, bahwa bughat adalah orang-orang yang tidak mau taat kepada imam (khalifah) yang haq (sah) tanpa alasan yang benar (bi ghayri haq). Kitab Hasyiyah az-Zarqani halaman 60 mendefinisikan bughat sebagai sekelompok orang dari kalangan kaum Muslim yang menyalahi al-Imam al-’Azham (khalifah) atau aparatnya.
Kitab Nihayah al-Muhtaj, VIII/382, menyatakan, bahwa bughat adalah sekelompok kaum Muslim yang menyalahi imam/khalifah dengan melakukan pemberontakan dan tidak mau menaatinya. Kitab Syarah Muntaha Kasyaf al-Qina, IV/113, juga menyebutkan bughat sebagai orang-orang yang memberontak terhadap imam/khalifah. Smentara itu, di dalam kitab al-Muhalla karya Imam ibn Hazm, XII/520, disebutkan pula bahwa bughat adalah orang-orang yang menentang Imam yang adil.
Menentang kepala negara, tegas al-Mawardi tidak bisa dibenarkan kecuali karena dua alasan. Pertama, karena ia mengalami perubahan dalam status moral (akhlak), secara teknis sebut saja pelanggaran terhadap norma-norma keadilan (‘adalah). Perubahan ini ada dua macam, yakni:
-
Perubahan moral yang berkaitan dengan jasmaniah; yakni kalau ia menuruti keinginan atau kebutuhan jasmaniah secara keterlaluan, mengumbar nafsu seks, dan menghina secara terang-terangan kepada aturan syariat. Kalau demikian, maka tidak ada pilihan lain, kecuali imam harus dipecat.
-
Perubahan moral yang berkaitan dengan akidah; maksudnya kalau imam memiliki pendapat atau buah pikiran yang bertolak belakang dengan prinsip-prinsip agama, atau memutarbalikkan sejumlah pendapat untuk menghapuskan sejumlah prinsip yang sudah disepakati, maka imam bisa disingkirkan dari jabatannya. Dalam hal ini, termasuk orang-orang dari Dinasti Buwaihiyah, Syi’ah, dan Fathimiyah yang masing-masing mengklaim sebagai yang paling berkehendak terhadap kekhalifahan.
Kedua, jika terjadi perubahan dalam diri imam. Dalam hal ini ada 3 (tiga) hal: (1) Hilang indera jasmani; (2) Hilang/cacat organ tubuh; dan (3) Hilang kemampuan mengawasi dan memimpin rakyat.
Secara syariah, untuk menjadi pemimpin mestinya tidak boleh meminta (Sunan Abu Dawud : 2540), beriman alias bukan orang kafir, Yahudi, dan Nashrani (QS. an-Nisa’ : 144, al-Ma’idah : 51), kuat jasmani dan kuat pikir/ruhani, ahli di bidang kepemimpinan, amanah, dan adil (QS. al-Baqarah : 247 dan an-Nisa’ : 58). [islamaktual/sm/tafsir]