Perbincangan atau isu yang menarik untuk dibahas dan sering sekali dibicarakan dalam kajian keislaman klasik maupun modern adalah pembahasan seputar wanita, baik dalam ranah fiqih, Hadits, tafsir, maupun pemikiran. Salah satu permasalahan yang sampai hari ini masih layak untuk diperbincangkan adalah tentang bolehkah seorang wanita makmum kepada seorang lelaki yang bukan mahramnya. Dalam realita sehari-hari, di kantor, kampus, sekolah atau tempat aktivitas yang lain misalnya, praktik seperti itu menjadi hal yang lumrah dilakukan oleh masyarakat ketika mereka tidak menjumpai tempat-tempat shalat yang mendukung dan memadai. Mereka melakukannya karena di satu sisi tidak mendapat tempat yang mendukung dan memadai untuk shalat berjamaah, dan di sisi lain mereka tetap ingin mendapatkan pahala shalat berjamaah. Pertanyaannya, bolehkah praktik shalat seperti itu (seorang wanita makmum kepada seorang lelaki yang bukan mahram) dilakukan?
Ada laporan dari Hadits yang menceritakan bahwa Rasulullah pernah mengimami seorang wanita yang sangat cantik. Hadits ini menjadi sumber perdebatan tentang bolehkah seorang wanita makmum kepada seorang lelaki yang bukan mahram. Di satu pihak ada yang menyatakan sahih, tapi di pihak lain ada yang mengatakan Hadits tersebut dhaif. Tulisan ini coba memaparkan kualitas Hadits tersebut dan bagaimana hukum seorang wanita yang makmum kepada seorang lelaki, khususnya yang bukan muhrim.
Hadits tentang seorang wanita cantik yang makmum kepada Nabi SAW.
“Dari Ibnu ‘Abbas berkata: pernah suatu ketika seorang wanita yang sangat cantik shalat di belakang (makmum) Rasulullah saw. Lalu sebagian sahabat mendahului (mempercepat langkahnya agar berada) di shaf pertama supaya tidak melihat wanita tersebut. Sedangkan sebagian yang lain melambatkan langkah mereka agar berada di shaf terakhir dengan tujuan apabila ruku’ bisa melihatnya dari bawah ketiak”.
Hadits di atas diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam dua karyanya; Syu’ab al-Iman (vol. VII, no. 5059) dan Sunan al-Kubra (vol. III, no. 5874), Ibnu Majah dalam Sunan (vol. I, no. 1046), al-Tirmidzi dalam Sunan (Vol. X, no. 1322), al-Nasa’i dalam Sunan (vol. II, no. 870), al-Bazzar dalam Musnad (vol. II, no. 5296), al-Thayalisi dalam Musnad (vol. IV, no. 2835), Ahmad ibn Hanbal dalam Musnad (vol. X, no. 2783), Ibnu Hibban dalam Sahih (vol. II, no. 401), dan Ibnu Khuzaimah dalam Sahih-nya (vol. III, no. 1696). Selain itu, menurut al-Suyuthi, Hadits ini juga menjadi asbab al-nuzul (sebab turunnya ayat) surat al-Hijr ayat 24 (al-Suyuthi, Lubab al-Nuqul fi Asbabi al-Nuzul, hal. 131).
Dari semua riwayat yang dicantumkan oleh para mukharrij dalam karya-karya mereka di atas,semuanya melalui perawi yang bernama ‘Amr bin Malik al-Nukri al-Bashari yang berstatus lemah. Menurut Ibnu ‘Addi, perawi ini adalah seorang munkar al-hadits (orang yang Haditsnya diingkari) dan juga pencuri Hadits (yasriqu al-hadits) (Ibnu al-Jauzi, al-Dhu’afa wa al-Matrukin, vol. II, hal. 231). Abu Ya’la al-Maushuli berkomentar bahwa ia adalah orang yang dha’if (lemah) (al-Jurjani, al-Kamil fi al-Dhu’afa al-Rijal), vol. X, hal. 150). Walaupun Ibnu Hajar al-’Asqalani menilainya jujur, tapi menurutnya ia banyak melakukan kesalahan (shaduq lahu awham) (Ibnu Hajar, Taqrib al-Tahdzib, hal. 426). Kritikus Hadits yang berkomentar baik tentangnya hanya Ibnu Hibban saja. Ia menganggap Hadits ‘Amr bin Malik bisa dipertimbangkan/dianggap. Itupun dengan syarat tidak boleh melalui anaknya, yaitu Yahya ibn ‘Amr ibn Malik (Ibnu Hibban, al-Tsiqat, vol. VII, hal. 228).
Seorang ahli Hadits kontemporer, Syu’aib al-Arnauth pun ketika men-tahqiq (meneliti) Musnad Ahmad berkomentar bahwa Hadits ini sanadnya dha’if (lemah) dan matannya munkar (diingkari). Meskipun sebelumnya ia menilai hasan ketika men-tahqiq kitab Sahih Ibn Hibban, namun akhirnya ia merubah ijtihadnya tersebut (Ahmad ibn Hanbal, Musnad Ahmad, vol. V, hal.5-6). Penilaian al-Arnauth tentang matannya yang munkar (diingkari) ini menurut hemat penulis cukup beralasan, karena dalam matan Hadits tersebut terlihat ada kesan menjelekkan sahabat dengan secara tidak langsung menganggap sebagian sahabat “mata keranjang” karena mengintip seorang wanita cantik dari bawah ketiak.
Perspektif berbeda ditunjukkan oleh Nashiruddin al-Albani ketika menilai Hadits ini. Menurutnya, Hadits yang melalui ‘Amr ibn Malik al-Nukri ini statusnya sahih (Al-Albani, Sahih wa Dha’if Sunan ibn Majah, vol. III, no. 1046, hal 46; Sahih wa Dha’if Sunan al-Tirmidzi, vol. VII, no. 3122; Sahih wa Dha’if Sunan al-Nasa’i, vol. III, no. 870). Pendapat al-Albani ini sedikit janggal, karena dalam kitab-kitab biografi yang memuat nama ‘Amr ibn Malik al-Nukri, mayoritas ulama ahli kritik Hadits menilai bahwa ia bukanlah orang yang tsiqah (kredibel; ‘adil dan dhabith). Padahal salah satu syarat Hadits sahih perawinya haruslah tsiqah (al-Suyuthi, Tadrib al-Rawi, hal. 27). Oleh karena itu dalam hal ini penulis lebih sependapat dengan penilaian Syu’aib al-Arnauth yang menyatakan bahwa Hadits ini dhaif.
Mengenai boleh atau tidaknya seseorang wanita yang makmum kepada seorang lelaki yang bukam mahramnya, di kalangan ulama terjadi perbedaan pendapat. Sebagian mereka yang menganggap Hadits ini sahih, tentu (seharusnya) berpendapat bolehnya seorang wanita makmum kepada seorang lelaki yang bukan mahramnya. Sementara sebagian ulama yang lain berpendapat tidak membolehkannya. Mereka yang tidak membolehkan antara lain seperti al-Sarakhsi dari madzhab Hanafi (Al-Mabsuth, vol.1, hal. 303) dan al-Nawawi dari madzhab Syafi’i (al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, vol. 4, hal. 277). Selain itu mereka juga berargumen dengan keumumam Hadits Nabi tentang larangan berkhalwat (menyepi) antara laki-laki dan wanita. Hadits tersebut berbunyi:
“…..janganlah seorang laki-laki berduaan bersama seorang wanita yang tidak halal baginya. Karena sesungguhnya yang ketiga adalah setan, kecuali bila bersama mahramnya …” (HR. Ahmad, Sanadnya memenuhi syarat Bukhari dan Muslim).
Pendapat ini juga yang dipegangi oleh Abu Malik ibn Kamal, seorang ulama fiqih pengarang kitab Sahih Fiqh as-Sunnah. Namun menurutnya bila wanita yang makmum itu istri atau muhrimnya, maka itu dibolehkan (dengan posisi wanita berada di belakang imam). Selain itu, menurutnya, bila wanita yang bukan muhrim itu lebih dari satu hukumnya juga boleh karena itu tidak dinamakan ber-khalwat (menyepi) dan tidak ada dalil-dalil yang melarang. Akan tetapi kebolehan tersebut menurut Abu Malik, jika tidak dikhawatirkan terjadi fitnah. Apabila dikhawatirkan terjadi fitnah maka itu juga dilarang (Abu Malik, Sahih Fiqh al-Sunnah wa Adillatuhu wa Taudhih Madzahib al-Aimmah, hal. 510).
Pendapat kelompok yang melarang ini menurut hemat penulis lebih didasarkan kepada fitnah yang akan terjadi dengan “berkumpulnya” atau berdua-duannya seorang laki-laki dengan seorang wanita yang bukan muhrim. Meskipun penulis menilai Hadits di atas dhaif, tapi dengan mempertimbangkan kondisi dan juga pendapat para ulama yang memberi catatan bahwa ketidak bolehannya adalah karena berkhalwat, maka penulis berkesimpulan bahwa hukum seorang wanita yang bermakmum kepada seorang laki-laki (yang bukan muhrimnya) adalah BOLEH dengan syarat memang benar-benar aman dari fitnah. Salah satu indikasi amannya dari fitnah berdua-duaan adalah dengan adanya orang lain yang ada di tempat itu, meskipun orang lain tersebut hanya satu dan tidak ikut shalat. Misalnya ketika seorang wanita bermakmum kepada seorang laki-laki (yang bukan muhrim) di tempat yang ramai atau umum (tidak menyepi). Wallahu a’lam bi al-shawwab. [islamaktual/sm/nikialmafebriana]