Dr. H. Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar, MA.
Gerhana dalam Al-Qur’an
Terminologi gerhana dalam bahasa Arab ada dua istilah: (1) “al-khusuf”, berasal dari kata “kha-sa-fa” yang bermakna tertutup (khasafa, inkhasafa) dan hilang (ghaba), (2) “al-kusuf”, berasal dari kata ka-sa-fa yang bermakna bagian dari langit (qath’an min as-sama’). Adakalanya kata “al-khusuf” dikhususkan untuk gerhana bulan, dan “al-kusuf” untuk gerhana matahari. Namun terkadang juga keduanya dapat digunakan secara bersamaan.
Kata “khasafa” dan yang seakar dengannya disitir dalam beberapa ayat, antara lain:
-
Qs. al-Qashas [28] ayat 81,
“Maka Kami benamkanlah Qarun beserta rumahnya ke dalam bumi….”
-
Qs. al-Qashas [28] ayat 82,
“Kalau Allah tidak melimpahkan karunia-Nya atas kita, benar-benar Dia telah membenamkan kita”
-
Qs. al-Ankabut [29] ayat 40,
“Dan diantara mereka ada yang Kami benamkan ke dalam bumi”
-
Qs. Saba’ [34] ayat 9,
“Jika Kami menghendaki, niscaya Kami benamkan mereka di bumi”
-
Qs. al-Mulk [67] ayat 16,
“Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang (berkuasa) di langit bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu berguncang?”
-
Qs. al-Qiyamah [75] ayat 7-9,
“Maka apabila mata terbelalak (ketakutan), dan apabila bulan telah hilang cahayanya, dan matahari dan bulan dikumpulkan”
Sementara itu kata “kasafa” atau yang seakar dengannya disebutkan antara lain:
-
Qs. asy-Syu’ara [26] ayat 187,
“Maka jatuhkanlah atas kami gumpalan dari langit, jika kamu termasuk orang-orang yang benar”
-
Qs. ath-Thur [52] ayat 44,
“Jika mereka melihat sebagian dari langit gugur, mereka akan mengatakan, “itu adalah awan yang bertindih-tindih”
-
Qs. ar-Rum [30] ayat 48,
“Allah, Dialah yang mengirim angin, lalu angin itu menggerakkan awan dan Allah membentangkannya di langit menurut yang dikehendaki-Nya, dan menjadikannya bergumpal-gumpal, lalu kamu lihat hujan keluar dari celah-celahnya, maka apabila hujan itu turun mengenai hamba-hamba-Nya yang dikehendaki-Nya, tiba-tiba mereka menjadi gembira.”
Beberapa ayat di atas yang menggunakan kata khasafa beserta pecahannya seluruhnya bermakna “hilang”, “terbenam”, “tertutup” dan makna-makna lainnya. Pada keseluruhannya, ayat-ayat ini mengisahkan mengenai kesombongan Qarun. Sementara itu Qs. al-Qiyamah [75] ayat 7-9 tampaknya adalah yang cukup dekat mengindikasikan kepada fenomena gerhana yang dimaksud. Al-Baghawi dalam tafsirnya menjelaskan kata “wa khasafa al-qamar” (dan apabila bulan telah hilang cahayanya) sebagai gelap dan hilangnya sinar dan cahaya bulan. Sementara itu Ibn Katsir (w. 774/1372) menjelaskan kata “fa idza bariq al-bashar” (maka apabila mata terbelalak), sebagai mata yang terkagum, terpesona, sekaligus mengherankan beserta hal-hal luar biasa lainnya tatkala melihat fenomena itu yang mana hal ini terjadi pada hari kiamat.
Sementara itu al-Qurthubi (w. 671/1272) memberi penafsiran beragam terhadap ayat “wa khasafa al-qamar”. Dari sejumlah penafsirannya antara lain al-Qurthubi memberi isyarat bahwa kata “khasafa” sebagai gerhana yang terjadi di dunia. Hal ini didukung pula oleh Qs. al-Qashas [28] ayat 81 “fa khasafna bihi wa bidarihi al-ardh…” (maka kami benamkanlah Qarun beserta rumahnya ke dalam bumi).
Gerhana dalam Sunnah
Sejatinya Hadits-Hadits mengenai gerhana sangat banyak. Namun bila diperhatikan seluruh Hadits-Hadits itu pada mulanya menerangkan mengenai kematian Ibrahim putra Rasulullah SAW. Dalam sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim disebutkan:
“Bersabda Nabi SAW: Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda dari kebesaran Allah, “keduanya tidak mengalami gerhana karena kematian seseorang dan tidak pula karena hidupnya” (Muttafaq ‘alaihi).
“Dari Mughirah bin Syu’bah, ia berkata: telah terjadi gerhana matahari dizaman Nabi SAW pada hari wafatnya Ibrahim (putra Nabi SAW). Manusia berkata: “tertutupnya matahari (gerhana) itu karena wafatnya Ibrahim”. Maka Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya matahari dan bulan tidak tertutup (gerhana) karena matinya seseorang, bukan pula karena hidupnya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Dua Hadits ini -dan masih ada banyak lagi lainnya- menjelaskan mengenai terjadinya fenomena gerhana di zaman Nabi SAW. Bahwa keduanya dikaitkan dan atau bertepatan dengan wafatnya putra Rasulullah SAW yang bernama Ibrahim. Namun secara jelas kedua Hadits ini menginformasikan bahwa segarisnya matahari dan bulan merupakan syarat sekaligus pertanda terjadinya gerhana. Hadits baginda Nabi SAW di atas juga menunjukkan kepada kita bahwa gerhana bukan semata fenomena alam biasa. Gerhana merupakan fenomena alam yang memang Allah kehendaki sebagai salah satu tanda kebesaran-Nya. Syaikhul Islam Ibn Taimiyah (w. 728/1327) dalam “ar-Radd ‘ala al-Manthiqiyyin” menjelaskan bahwa Hadits di atas merupakan bantahan terhadap praduga sebagian manusia yang berfaham bahwa tertutupnya matahari ketika itu dikarenakan wafatnya Ibrahim putra Rasulullah SAW. Memang merupakan fakta bahwa wafatnya Ibrahim pada saat itu bertepatan ketika matahari dalam keadaan tertutup (alias terjadi gerhana). Maka dalam hal ini Nabi SAW menjelaskan secara tegas bahwa gerhana itu bukan yang menjadi sebab wafat putranya atau siapapun. Nabi SAW menjelaskan bahwa hal ini semata merupakan tanda kebesaran Allah yang memberi rasa takut kepada hamba-hamba-Nya.
Gerhana Menurut Astronomi
Gerhana merupakan fenomena alam yang terjadi dan dapat disaksikan dari bumi. Fenomena gerhana sejatinya terkait dengan tiga benda langit: bulan, matahari, dan bumi. Bulan beredar di sekitar bumi dengan orbit tertentu, sedangkan bumi beserta satelitnya beredar dengan orbit tertentu pula di sekitar matahari. Hal ini antara lain diisyaratkan dalam QS. Yaasin [36] ayat 40. Dalam studi astronomis, gerhana terbagi dua: (1) gerhana matahari (al-kusuf) dan (2) gerhana bulan (al-khusuf). Gerhana matahari dinyatakan terjadi ketika posisi bulan terletak di antara bumi dan matahari sehingga menutup sebagian atau seluruh cahaya matahari. Dalam hal ini betapapun ukuran bulan lebih kecil namun dalam kenyataannya bayangan bulan mampu menutupi sinar matahari sepenuhnya. Hal ini karena bulan lebih dekat posisinya ke bumi dibandingkan matahari.
Dalam penelitian modern, gerhana matahari terbagi beberapa jenis, antara lain: pertama, gerhana matahari total (al-kusuf al-kully) yaitu ketika piringan matahari tertutup sepenuhnya oleh piringan bulan. Kedua, gerhana matahari sebagian (al-kusuf al-juz’iy) yaitu ketika piringan bulan pada saat gerhana hanya menutup sebagian dari piringan matahari. Ketiga, gerhana matahari cincin yaitu ketika piringan bulan saat gerhana hanya menutup sebagian dari piringan matahari yang ukuran piringan bulan lebih kecil dari piringan matahari sehingga ketika piringan bulan berada di hadapan piringan matahari tidak seluruhnya tertutup oleh piringan bulan. Bagian piringan matahari yang tidak tertutup oleh piringan bulan ini berada di sekitar piringan bulan dan terlihat seperti cincin yang bercahaya. Selain itu, ada juga yang menambahkan jenis gerhana yang lain yaitu gerhana matahari hibrida yaitu gerhana yang bergeser antara gerhana total dan gerhana cincin, gerhana hibrida ini relatif jarang terjadi.
Sedangkan gerhana bulan adalah fenomena yang terjadi ketika matahari, bumi dan bulan berada pada garis bujur yang sama pada saat bulan beroposisi (yaitu pada saat bulan purnama) sehingga pada saat itu bulan akan melewati bayangan bumi. Dalam hal ini bayangan yang dibentuk oleh bumi ada dua bagian yaitu bayangan paling luar (penumbra) dan bayangan paling dalam (umbra). Berdasarkan dua bayangan ini pula gerhana bulan terbagi kepada dua jenis yaitu gerhana bulan penumbra dan gerhana bulan umbra.
Fenomena gerhana penumbra terjadi tatkala bulan melewati bayangan penumbra bumi yang hanya dapat disaksikan apabila piringan bulan telah masuk lebih dari setengahnya pada bayangan penumbra bumi. Sedangkan gerhana bulan umbra terjadi apabila bulan telah melewati umbra bumi yang ketika itu seluruh piringan bulan melewati seluruh bayangan umbra, yang terakhir ini disebut dengan gerhana bulan total, dan jika melewati sebagian umbra bumi disebut gerhana bulan sebagian. [islamaktual/sm]