Ada sebuah kisah -dalam sebuah Hadits shahih yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim- yang sangat sarat dengan ‘ibrah (pelajaran yang berharga). Berawal dari rasa ibanya, seorang wanita yang dikenal sebagai seorang ‘pelacur’, rela berbuat sesuatu yang sangat mulia bagi seekor anjing yang tengah kehausan di dekat sebuah sumur yang tak mungkin dimanfaatkan airnya oleh ‘sang anjing’ karena keterbatasannya untuk mengakses kenikmatan Allah yang ada di dalamnya. Pada saat itu, yang diperlukan hanyalah kesediaan ‘sang pelacur’ untuk bersedekah kepada ‘sang anjing’, agar si anjing tidak mati karena kehausan.
Dengan ketulusan hatinya, ‘sang pelacur’ menuruni tebing sumur dan mengambilkan beberapa teguk air dengan sepatunya untuk membantu ‘si anjing’ yang sangat memerlukan bantuannya. Dan akhirnya, ‘si anjing’ -karena bantuan ‘sang pelacur’- pun terbebas dari masalah kehausan, dan terhindar dari kemungkinan kematian sebagai akibat dari masalah yang dihadapinya. Tanpa mengucap apapun ‘sang anjing’ pun pergi dengan selamat, dan ‘si pelacur’ pun lega.
Nah, para pembaca (yang) budiman, apa balasan yang diberikan oleh Allah kepada ‘sang pelacur’? Menurut sabda Nabi saw., ‘sang pelacur’ itu pun mendapatkan anugerah cinta tertinggi dari Allah, berupa “maghfirah (ampunan)”. Dan, ampunan dari Allah itulah yang pada saatnya kelak akan bisa menjadi ‘tiket-masuk’ ke surga, sebagaimana yang telah dijanjikan oleh Allah kepada orang-orang yang bertaqwa.
Ibnu Taimiyyah, dalam kitab Majmu al-Fatawa, I/212 menyatakan: “Nabi saw pernah bersabda bahwa orang yang paling berhak memperoleh syafa’at (pertolongan) pada hari kiamat adalah orang yang paling tinggi tauhid dan keikhlasannya”. Mengapa? Karena ruh tauhid dan keikhlasan akan terus menyatu dalam sikap perilaku manusia ketika beribadah kepada Allah. Syafa’at adalah bukti cinta Allah kepada hamba-Nya. Dan oleh karenanya -kata para ulama- tidak ada syafaat tanpa cinta. Dan pada saat seseorang hamba membangun cintanya kepada Allah, pada saat itulah cinta Allah akan bersemi di hati sanubari hambanya yang taat dalam beribadah dengan ruh tauhid dan keikhlasannya. Dan wujud implementasinya -antara lain- seperti apa yang telah dimanifestasikan oleh ‘sang pelacur’ kepada ‘sang anjing’.
Memahami apa yang tersirat dalam beberapa ayat al-Qur’an dan Hadits yang pernah penulis baca, Allah selalu akan menyikapi para hamba-hamba-Nya di dunia dan akhirat selaras dengan ‘niat-niat’ mereka di dunia. Sebagaimana yang pernah disabdakan oleh Nabi saw. : “yuhsyarun nasu ‘ala niyyatihim” (Manusia dikumpulkan berdasarkan niat-niat mereka) (HR. Ibn Majah dari Jabir bin Abdullah, Sunan Ibnu Majah, Hadits no. 4230, dan dishahihkan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albaniy). Dan juga dalam sabdanya, “innama yub’atsun nasu ‘ala niyyatihim” (Manusia dibangkitkan hanyalah di atas niat-niat mereka) (HR. Ibn Majah dari Abu Hurairah, Sunan Ibnu Majah, Hadits no. 4229, dan dihasankan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albaniy). Selaras dengan apa yang tesebut dalam al-Qur’an Surat al-’Adiyat [100]:9-11, “Maka apakah Dia tidak mengetahui apabila dibangkitkan apa yang ada di dalam kubur, dan dinampakkan apa yang ada di dalam dada. Sesungguhnya Tuhan mereka pada hari itu Maha Mengetahui keadaan mereka”, dan QS. ath-Thariq [86]:9, “Pada hari dinampakkan segala rahasia”.
Sebagaimana kisah yang telah penulis ungkapkan di atas, Abu Hurairah ra. telah meriwayatkan sebuah Hadits Nabi saw. yang dapat kita jadikan ‘ibrah (pelajaran berharga) tentang arti penting keikhlasan pada diri seseorang ‘dia’ berbuat sesuatu. Diriwayatkan, bahwa ikhlas bisa menjadi sebab diampuninya dosa seseorang. Sebagaimana Hadits berikut: “bainama kalbun yuthifu birakiyyatin kada yaqtuluhul ‘athasyu idz rathu baghiyyun min baghaya bani israila fanaza’at muqaha fastaqathu iyyahu faghufira laha bihi” (Ketika ada seekor anjing yang hampir mati karena kehausan berputar-putar mengelilingi sebuah sumur yang berisi air, tiba-tiba anjing tersebut dilihat oleh seorang wanita pezina dari kaum bani Israil, maka wanita tersebut melepaskan khufnya (sepatunya) -untuk turun ke sumur dan mengisi air ke sepatu tersebut-, lalu memberi minum kepada si anjing tersebut. Maka -sebagai akibat dari perbuatannya- Allah pun mengampuni dosa wanita tersebut karena amalannya itu” (HR al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, IV/211, Hadits no. 3467 dan Muslim, Shahih Muslim, VII/45, Hadits no. 5998).
Berpijak dari Hadits tersebut, kita bisa memahami arti penting ‘keikhlasan’ “Sang Wanita Pezina”, pada saat menolong “Sang Anjing” yang tengah kehausan. Dia meolong ‘sang anjing’ dengan ketulusan hatinya. Karena tak seorang pun yang melihatnya, dan dia pun tidak berharap apapun terhadap ‘sang anjing’. Yang ‘jelas benar-benar melihat’ hanyalah ALLAH SWT. [islamaktual/sm/muhsinhariyanto]