KH. ABDUL KAHAR MUZAKKIR AHLI SILATURAHIM

Meski cukup lama belajar di Mesir, ketika pulang ke Yogyakarta, KH. Abdul Kahar Muzakkir tetap tidak lupa kepada semua kenalannya. Tahun 1924, setelah menyelesaikan pendidikan di banyak pondok pesantren beliau berangkat menunaikan ibadah haji, dengan maksud terus bermukim dan belajar di Mekkah. Perang menyebabkan beliau pergi ke Mesir. Ia diterima menjadi mahasiswa Universitas Al-Azhar di Kairo di tahun 1925. Pada tahun 1927 Abdul Kahar Muzakkir pindah kuliah ke Universitas Darul Ulum.
Tahun 1938 ia pulang ke Indonesia langsung bergabung dengan Muhammadiyah dan diangkat menjadi direktur Mu’alimin Jogjakarta. kemudian ia menjadi pengurus Majelis Pemuda dan Majelis PKU Muhammadiyah. Tahun 1953, beliau masuk dalam jajaran Pengurus Pusat Muhammadiyah hingga akhir hayatnya.
KH. Abdul Kahar Muzakkir, dalam kehidupan sehari-hari tetap tidak lupa kepada semua kenalannya. Para saudara, tetangga, teman sekolah, bahkan para bakul atau pedagang di pasar Beringharjo dan Pasar Kotagede pun tidak dia lupakan. Pengantar susu sapi yang datang ke rumahnya di Selakraman dari kampung Warungboto pun tidak dia lupakan. Juga penjual sate dan gulai kambing kesukaannya.
Setiap pulang dari luar negeri, dalam kunjungannya ke beberapa negara Islam, Kiai Abdul Kahar sering mendapat bantuan dana. Sesampainya di tanah air, dana itu dia berikan kepada Universitas Islam Indonesia (UII) yang masih dalam proses perintisan. Dan pulangnya, dia membawa oleh-oleh tongseng kambing atau sate kambing untuk keluarganya.
Pada saat luang, Kiai Abdul Kahar selalu menyempatkan diri untuk bersilaturahim. Dia ingat misalnya ada saudara atau tetangga yang tinggal di kota lain. Maka sewaktu pulang dia akan bilang, “Aku kemarin ketemu pamanmu yang ada di Cirebon.” Perkataan itu ditujukan kepada tetangga atau saudaranya yang punya saudara tinggal di Cirebon.
Sebagai ahli silaturahim, maka ketika menjadi anggota BPUPKI atau ketika menjadi anggota Konstituante, Kiai Abdul Kahar Muzakkir dikenal sebagai ahli lobi. Ia memperjuangkan aspirasi umat Islam dan aspirasi Muhammadiyah lewat jalur lobi ini. Hubungannya dengan Bung Karno pun cukup dekat. Keduanya saling menghormati.
Setelah tidak lagi menjdi anggota Konstituante, Kiai Abdul Kahar aktif memimpin UII dan aktif di Muhammadiyah. Kebiasaannya bersilaturahim tetap ia jalankan. Suatu hari di bulan puasa ia melihat ada pedagang pasar Kotagede -waktu itu pasar belum ditembok, hanya dibatasi kawat berduri- sedang makan. Kiai Abdul Kahar pun turun dari andong dan menegur dengan sopan. “Bu, maaf, kalau bulan puasa, kalau pas tidak puasa mbok makannya jangan di tempat terbuka seperti ini ya Bu. Di dalam warung atau gimana.” Pedagang warung itu tersipu-sipu dan minta maaf. Lain hari dia tidak mengulangi perbuatannya.
Tokoh besar yang dikenal sebagai satu dari beberapa orang penandatangan Piagam Jakarta ini memang punya kebiasaan naik andong jika bepergian dari Kotagede menuju ke kota Yogyakarta. Baik ketika akan ke UII atau ke Kantor PP Muhammadiyah. Menurut Kiai Abdul Kahar, dengan naik andong dia dapat mendengar obrolan para pedagang. Sering pula dia terlibat dalam obrolan gayeng sepanjang perjalanan dari Kotagede menuju Yogyakarta. Dengan cara demikian dia dapat mengenal kehidupan dan penderitaan orang kecil di sekitarnya. Dia merasa dekat dengan mereka.
Karena sering bersilaturahim dan bertamu kepada tokoh-tokoh agama dan tokoh nasional di seluruh Indonesia, maka pada gilirannya ia pun suka menerima tamu. Para tamu merasa betah datang ke rumahnya karena merasa dimuliakan. Kadang diajak makan dengan masakan dari hasil masakannya sendiri. Yang jelas suguhan berupa obrolan hangat dan bertukar pengalaman secara terbuka dan rileks membuat para tamu suka bertandang ke rumahnya di kampung Selakraman Kotagede.
Para tetangga banyak yang menjadi saksi bagaimana Wakil Presiden Indonesia Mohammad Hatta, kemudian Perdana Menteri Mohammad Natsir, dan para tokoh dari luar Yogya dan luar negeri masuk ke kampung kecil dan masuk ke dalam rumahnya yang kuno dan sederhana.
Biasanya, kalau tamu itu datang di hari Jumat dan kebetulan beragama Islam, sang tamu pun diajak ke Masjid Gede Mataram Kotagede. Kiai Abdul Kahar Muzakkir kemudian menghubungi Takmir masjid, lalu mempersilakan tamunya berkhutbah. Setelah shalat Jum’at selesai, sang tamu pun diperkenalkan dengan jama’ah Jum’at siang itu. Lalu ada dialog dengan jamaah agar terjadi proses saling mengenal.
Kalau tamunya tidak dapat berbahasa Indonesia atau tidak dapat berbahasa Jawa, Kiai sendiri yang menjadi penerjemahnya. Hadirnya para tamu dari luar negeri di masjid ini pun membuat jama’ah Jum’at berbesar hati. Kiai Abdul Kahar sendiri pernah menjelaskan bahwa, setiap tamu yang datang ke rumahnya sesungguhnya juga menjadi tamu kota ini. Dengan demikian, mereka pun senang diajak ke Masjid kuno yang dibangun oleh pendiri Kerajaan Mataram Islam itu. Mereka juga senang mendapat sambutan hangat dari jama’ah di masjid. jama’ah yang menjadi tetangga Kiai Abdul Kahar atau Mbah Dul Kahar ini.

 

Dengan anak-anak kecil yang bertamu ke rumahnya, dia pun ramah. “Nak, kamu ini anaknya atau cucunya siapa ya? Salamku untuk ayahmu atau untuk Mbahmu ya,” begitu selalu katanya sambil mengelus rambut anak kecil yang semula takut-takut datang ke rumahnya. Tentu saja anak itupun senang. [ialamaktual/sm/a.sanjaya]

Leave a Comment