Rasulullah Muhammad SAW mendeklarasikan bahwa beliau diutus Allah untuk menyempurnakan akhlak mulia. Karena itu dapat kita pahami bahwa Islam adalah risalah akhlak. Akhlak yang menjadi inti risalah kerasulan beliau merasuk ke dalam semua eksistensi Islam dan semua ajarannya, sampai kepada akidah, ibadah dan muamalah, serta masuk ke dalam politik, ekonomi dan lain sebagainya. Akhlak Islam bersifat kompleks, menyeluruh dan utuh. Islam mengajarkan, menanamkan, membimbing, dan mendidik umat manusia berakhlak mulia lagi terpuji kepada Allah SWT, sesama manusia bahkan kepada semua makhluk.
Selagi dan semasa hayat, Rasulullah SAW selalu bekerja keras untuk mendakwahkan al-akhlaaqul kariimah (akhlak mulia) atau al-akhlaaqul mahmuudah (akhlak terpuji) kepada umat manusia. Beliau tidak merasa lelah menyeru dan mengajak manusia untuk berakhlak mulia lagi terpuji di tengah masyarakat dengan memberikan keteladanan, baik langsung maupun tidak langsung. Begitu penting kedudukan akhlak sehingga beliau sering menyatakan, bahwa Islam itu hakikatnya adalah kebagusan akhlak. Siapa yang berakhlak mulia lagi terpuji di dunia ini akan memberatkan timbangan kebagusannya di kemudian hari. “Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya,” demikian beliau menegaskan. Dengan demikian, orang yang paling baik Islamnya tentulah pula yang paling baik akhlaknya.
Islam apabila diibaratkan sebagai sebuah gedung, maka akhlak adalah tiangnya. Tanpa tiang, maka sebuah bangunan atau gedung tidak akan dapat tegak kokoh berdiri. Karena itu, setiap Muslim wajib menegakkan akhlak,sebagai tiang, agar Islam sebagai sebuah gedung tetap berdiri dengan tegak dan kokoh. Ini berarti siapa yang menegakkan akhlak sama halnya dengan menegakkan Islam. Sebaliknya, siapa yang merobohkannya sama arti dan maknanya dengan menghancurkan Islam itu sendiri. Semoga kita, sebagai kaum Muslimin, jangan menjadi perusak dan penghancur Islam, tetapi menjadi penegaknya. Kita mestilah mau membaca dan belajar pada sejarah. Bangun dan jatuh, jaya dan hancur, sejahtera dan rusaknya suatu bangsa, umat, masyarakat dan pribadi seseorang tergantung kepada akhlaknya. Jika mereka berakhlak baik, maka bangun, jaya dan sejahteralah mereka lahir bathin. Tetapi jika sebaliknya, maka mereka akan jatuh, hancur, dan menderita sengsara. Benarlah apa yang dikatakan oleh Syauqi Beyk, seorang pujangga Mesir, yang menyatakan, “Sesungguhnya bangsa itu jaya selama mereka berakhlak mulia. Tetapi apabila akhlak baiknya telah hilang, maka binasalah bangsa itu.”
Dalam kolom yang terbatas ini, akan saya singgung tentang akhlak dalam kehidupan bermasyarakat. Kita hidup di tengah masyarakat Indonesia yang majemuk dalam suku, budaya, agama dan lain sebagainya. Kemajemukan itu tidak menjadi penghalang bagi kita untuk membangun dan menjalin komunikasi dengan baik. Apabila terjadi gesekan, cepat selesaikan dalam musyawarah bersama dengan bijak, lapang dada, dan jiwa besar.
Dalam hidup bermasyarakat tentu kita mempunyai tetangga. Bahkan tetangga paling dekat dengan kita daripada dengan saudara-saudara kita yang kebetulan rumah mereka berjauhan dengan kita. Karena itu, para tetangga kitalah yang pertama kali memberi pertolongan kepada kita. Misalnya, kalau ada anggota keluarga kita yang meninggal. Mereka pulalah yang secara langsung atau tidak langsung yang dapat kita beri amanah untuk turut menjaga, mengawasi, mengamankan keselamatan rumah dan keluarga. Misal, kalau kita bepergian. Disamping dapat diharapkan memberikan bantuan, pertolongan dalam beberapa hal yang kita perlukan. Karena itu, kita harus hidup berdampingan dalam suasana sejuk dan damai dengan mereka. Saling bersilaturrahmi, berkunjung dan bertamu secara baik. Saling menjaga rasa aman dan tidak menyakiti lahir bathin antara satu sama lain.
Kita pun dalam hidup bermasyarakat berteman, berkawan dan bersahabat dalam arti luas. Teman, kawan dan sahabat kita ada yang hanya sepergaulan, sebaya, disamping dengan yang lebih tua dan lebih muda. Mereka semua harus dihargai, yang tua dihormati dan yang muda disayangi.Tetapi ada juga teman, kawan dan sahabat kita yang sesekolah atau sekuliah, sekantor atau sepekerjaan, seprofesi, sehobbi, seorganisasi atau separtai bahkan sampai lintas organisasi atau partai dan lain sebagainya. Dalam menjalin pertemanan, persekawanan, dan persahabatan itu hendaklah kita mengedepankan keluhuran akhlak. Kejujuran, dapat dipercaya, tidak dusta, menepati janji, keramahan bukan kekerasan dan seterusnya. Kita mestilah tampil dengan akhlak mulia lagi terpuji. Sehingga kehadiran kita bukan hanya menggenapkan tetapi juga dapat membawa keharuman, kemanfaatan dan kemajuan.
Dalam masyarakat, kita menyaksikan dengan jelas ada kaum yang lemah. Kita tidak boleh menutup mata atau hanya melihat dengan mata sebelah terhadap keberadaan kaum itu. Keberadaan kaum yang lemah di negeri ini adalah nyata. Jika tidak ada kaum yang lemah, maka tentulah tidak akan pernah ada sebutan kaum yang kuat. Kita tidak boleh menafikan peran mereka. Mereka telah membantu dan menaikkan orang-orang lain sampai ke tingkat posisi yang disebut kaum yang kuat dalam arti luas. Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya kamu mendapat kemenangan dan rizki lantaran bantuan dari orang-orang yang lemah di antara kamu.” (HR. Abu Dawud). Nah, mereka, yang kini menjadi kaum yang kuat, mestilah memiliki solidaritas yang tinggi untuk peduli membantu kaum yang lemah. Mereka secara sadar hendaklah ringan hati menolong sesamanya yang belum berhasil dengan tindakan nyata. Kelemahan dari kaum yang lemah itu beragam. Diantara mereka ada yang lemah ekonomi, lemah ilmu, lemah fisik, lemah rohani, lemah iman, lemah kasih sayang, dan lain sebagainya. Karena itu, bantu dan tolonglah mereka sesuai keperluan dan kebutuhan masing-masing.
Mari kita hiasi diri dan kehidupan kita di masyarakat dengan akhlak mulia. “Ya Allah, berikan aku petunjuk kepada akhlak yang paling baik. Tidak ada yang bisa memberi petunjuk kepadanya kecuali Engkau”. [islamaktual/sm/muchlasabror]