Perkataan al-Kasyaf, menurut bahasa, artinya “mengangkat yang tertutup (raf’u al-hijab). Adapun pengertiannya: “mengetahui apa yang terdinding (tertutup), baik berupa makna-makna yang ghaib dan perkara-perkara yang sesungguhnya, ia ada dan dapat disaksikan (at-Ta’rifat: 183). Di dalam bahasa Inggris kadang disebut dengan kata bringing (menampakkan) atau uncovering (menyingkap sesuatu yang tertutup), dan kadang diartikan dengan revelation (wahyu).
Tentang keberadaan “kasyaf” adalah disepakati oleh para ulama, merupakan kemuliaan yang diberikan Allah kepada seseorang hamba-Nya. Imam al-Ghazali memperkuat hal itu dengan ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits-Hadits Nabi saw, baik yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim atau oleh Turmudzi, serta pengalaman-pengalaman, dan cerita-cerita. Akan tetapi, argumentasi al-Ghazali itu tidak bisa untuk pembenaran dalam pembahasan kitab yang berjudul Penjelasan Syara’ terhadap sahnya jalan sufi dalam mencapai makrifat, tanpa belajar dan bukan melalui jalan yang biasa.
Dalil-dalil yang disebutkan menunjukkan bahwa manusia yang Mukmin, bertakwa, taqarrub kepada Allah, mematuhi perintah dan menjauhi larangan Allah, maka Allah akan memberinya hidayah, cahaya, pembeda, hikmah, pemahaman atau ilmu yang bermanfaat. Walaupun demikian, bukan berarti semua konsentrasinya tercurahkan untuk menunggu hidayah yang belum pasti datangnya, sementara ia meninggalkan jalan yang biasa ditempuh para ulama untuk mencapai makrifat.
Ungkapan al-Ghazali bahwa hal tersebut adalah jalan yang ditempuh para Nabi, tidak dapat diterima. Hal ini karena ketika Nabi Muhammad saw berkontemplasi dalam Gua Hira’, beliau tidak meminta diberikan kasyaf (tersingkapnya rahasia). Beliau tidak mengharapkan ada sesuatu yang turun dari langit dan tidak terlintas dalam benak beliau. Hal inilah yang ditetapkan Al-Qur’an: “Dan kamu tidak pernah mengharap agar Al-Qur’an diturunkan kepadamu, tetapi ia (diturunkan) karena suatu rahmat yang besar dari Tuhanmu…” (QS. al-Qashash [28]: 86).
Perlu kita sebutkan, bagaimana solusinya jika terdapat “kasyaf” yang berlawanan dengan hukum syari’at? Apa yang harus diperbuat oleh pemilik “kasyaf” itu? Apakah membenarkannya atau membenarkan apa yang datang dari Al-Qur’an yang tidak akan berbohong?
Memang tidak ada pertentangan bahwa kasyaf dan hal yang luar biasa yang diberikan Allah kepada orang Mukmin yang bertakwa. Misalnya bagi orang tertentu jarak yang jauh menjadi dekat dan sesuatu yang sedikit menjadi banyak. Atau ia mengetahui hal yang tidak diketahui oleh orang lain. Namun, ia diterima manakala tidak bertabrakan dengan ketentuan agama yang tetap dan hukum syari’at yang disepakati. Hal inilah yang telah dijelaskan oleh Imam asy-Syatibi dalam kitabnya al-Muwafaqat. Asy-Syatibi menjelaskan bahwa hal yang bertentangan dengan syari’at karena pengaruh setan atau khayalan, semuanya itu tidak dapat dipertanggungjawabkan karena menyalahi syari’at. Syari’at itu dibawa oleh Nabi Muhammad saw dan berlaku bagi semua umat Islam, bukan hanya untuk orang tertentu saja, tidak ada pengecualiannya, lanjut asy-Syatibi, contoh tentang hal itu adalah sebuah kasus ketika itu Ibnu Rusyd ditanya tentang seorang hakim yang berhadapan dengan dua orang saksi yang adil. Hakim itu lalu bermimpi bahwa Nabi Muhammad berkata kepadanya: “Janganlah kamu memutuskan dengan persaksian tersebut karena hal itu batal”. Ibnu Rusyd berkata, “Mimpi itu tidak diperhitungkan sebab ia berlawanan dengan prinsip syari’at”. (Mauqiful Islam: 37).
Dalam sebuah Hadits sahih disebutkan: “Kalian berselisih pendapat di hadapanku, bisa jadi sebahagian kalian mengemukakan bukti. Maka aku akan memutuskan sesuatu menurut apa yang aku dengar,” (H.R. al-Bukhari dan Muslim).
Dikatakan oleh Ibnu Khaldun, “Kasyaf kadangkala bisa dicapai oleh orang yang menahan makan minum dan bersemedi sekalipun orang itu tidak benar, seperti tukang sihir, orang nasrani dan selain mereka” (Ibnu Khaldun, Muqadimah: 410).
Kata Imam asy-Sya’rani dalam kitab Mizan, “Kasyaf yang betul selamanya tidak bertentangan dengan syari’at”.
Dikatakan oleh Teungku Haji Abdullah Ujung Rimba, salah seorang ulama besar di Aceh, bahwa yang mula-mula mempraktikkan kasyaf itu kalangan Hindu Brahmana, mereka telah melakukan hal itu sejak beriburibu tahun yang silam sebelum kelahiran Isa as (Masehi) (Baca Ilmu Thareqat wa al-Hakikat: 67).
Disebutkan oleh Ibnul Qayyim al-Jauziyah, Mukasyafah itu bertingkat-tingkat: Pertama, mukasyafah (kasyaf) yang benar, ia tidak selalu kontinyu (terus-menerus), hanya sewaktu-waktu saja, berupa ilmu Allah yang dibisikkan Allah dalam hati seorang hamba, dan tidak diketahui oleh orang lain. Kedua, mukasyafah yang tetap (terus-menerus), ketiga, mukasyafah mata (indra) bukan mukasyafah ilmun (Madarijus Salikin bab al-Mukasyafah: 786–788,).
Pernah Umar Ibnul Khaththab ra berkata kepada Sariyah bin Zanin salah seorang komandan pasukan Islam yang sedang berperang di luar negeri Arab (Nahawand) supaya pasukan perang naik ke atas gunung (agar tidak terkepung oleh musuh), sedangkan Umar waktu itu berdiri di atas mimbar masjid Madinah. Suara Umar itu didengar oleh Sariyah bin Zanim dan dipatuhinya, sahingga dia selamat dan selamat pula seluruh tentara Islam. Ini adalah kasyaf yang benar yang diberikan Allah kepada kekasihnya (Madarijus Salikin: 790).
Ulama salaf seperti Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim al-Jauziyah dan Imam asy-Syatibi tidak menolak adanya kasyaf. Lalu timbul pertanyaan di manakah letak perbedaan antara kalangan sufi dan selainnya (fuqaha’). Kita dapat membatasi perbedaan itu, antara lain sebagai berikut: Pertama, kalangan sufi menjadikan kasyaf sebagai salah satu dalil syar’i, dijadikan sumber hukum untuk menghalalkan atau mengharamkan, memakruhkan, mewajibkan dan mensunnahkan sesuatu; Kedua, kalangan sufi menganggap kasyaf mereka, sebagai sesuatu yang sakral dan terjaga dari kesalahan. Hal ini berbeda dengan ijtihad yang masih mungkin benar atau salah yang dilakukan para ulama ahli ijtihad; Ketiga, sebagian mereka (para sufi) menganggap kasyaf adalah puncak tujuan yang mereka cari dan idam-idamkan, seakan-akan ibadah dan ketaatan mereka hanya untuk mencari kasyaf (terungkapnya tabir rahasia) bukan untuk Allah; Keempat, metode mereka untuk memperoleh kasyaf kadang-kadang melalui jalan bid’ah, yang tidak ada keterangan (bayan)- nya dari Al-Qur’an dan As-Sunnah serta amalan ulama salaf. [islamaktual/sm/ismailthaib]